Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto didesak untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Desakan ini merupakan satu dari delapan poin penting yang disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Catatan Akhir Tahun 2024 AMAN yang dirilis dalam media briefing di Kedai Tjikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2024).
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan RUU itu adalah amanat konstitusi dan akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat ada.
”Serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan,” ujarnya.
Selain itu dalam poin lainnya, AMAN menekankan pentingnya percepatan pengakuan hak atas wilayah adat, yang diiringi dengan penyelesaian konflik agraria serta penghentian perampasan tanah yang sering kali dilakukan atas nama pembangunan proyek strategis nasional atau kepentingan pemodal asing.
AMAN juga mendesak pencabutan sejumlah undang-undang yang dianggap diskriminatif, seperti UU Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta UU Minerba, karena merugikan masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, perempuan, dan kelompok rentan lainnya.
Di samping itu, AMAN menyoroti perlunya pelaksanaan reforma agraria yang sejati, sesuai mandat konstitusi dan peraturan yang ada, untuk mengembalikan kedaulatan bangsa atas tanah dan sumber daya alamnya.
Tidak kalah penting adalah pemulihan hak bagi masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi akibat memperjuangkan wilayah adat mereka. Pemerintah juga didesak untuk menjamin perlindungan hukum yang adil tanpa keberpihakan pada kepentingan korporasi besar.
AMAN pun menegaskan bahwa pemulihan lingkungan hidup harus menjadi prioritas, dengan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak ekosistem dan melanggar hak asasi manusia.
Lebih jauh, AMAN meminta pemerintah untuk memastikan partisipasi penuh masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, dan kelompok rentan lainnya dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berdampak pada mereka.
“Keseluruhan aspirasi tersebut tidak akan dapat terlaksana jika tidak didasarkan pada kehendak politik pemerintahan baru,” pungkas Rukka.
Transisi kekuasaan yang terjadi tidak hanya semata-mata peralihan kekuasaan, tapi harus menjadi proses reorientasi sistem pembangunan yang sesuai dengan mandat konstitusi; pemenuhan hak masyarakat adat, reforma agraria sejati; pemulihan alam, dan penguatan negara demokrasi.