Sejak rekaman aslinya dirilis 40 tahun silam, lagu berjudul Do They Know It’s Christmas? tidak pernah absen berkumandang menjelang Natal. Pertanyaannya selalu sama: apakah rakyat Ethiopia tahu hari Natal?
Lagu itu disusun oleh musisi Bob Geldof dan Midge Ure setelah mereka menyaksikan tayangan mengerikan tentang kelaparan di Ethiopia utara yang disiarkan BBC pada 1984.
Keduanya kemudian mengumpulkan beberapa penyanyi terkenal pada masa itu untuk merekam lagu Do They Know It’s Christmas? Penyanyi yang diundang antara lain Bono dari U2, Sting, hingga Paul McCartney.
Rencananya, uang yang mereka peroleh akan disumbangkan untuk rakyat Ethiopia.
Perilisan lagu tersebut melalui grup musik Band Aid serta konser Live Aid yang digelar delapan bulan kemudian, menjadi momen penting dalam penggalangan dana selebritas dan menjadi pola yang diikuti banyak orang.
Selama 40 tahun, lagu Do They Know It’s Christmas? telah direkam ulang dalam empat versi.
Namun, ada sisi lain dari lagu tersebut yang tak banyak diketahui khalayak umum.
Terlepas dari sumbangan yang mengalir, lagu Do They Know It’s Christmas? menyimpan stereotipe bahwa Ethiopia adalah tempat yang tandus dan tidak ada hujan atau sungai yang mengalir.
Masyarakat Ethiopia yang menerima bantuan dipandang sebagai sosok kurus kering dan tak berdaya.
Pandangan itu rupanya dianggap sebuah kebenaran bagi banyak orang.
“Pertanyaan ‘Apakah mereka tahu hari Natal?’ lucu dan menghina,” kata Dawit Giorgis.
Pada 1984, Dawit Giorgis adalah pejabat Ethiopia yang bertanggung jawab untuk menyebarkan pesan tentang apa yang terjadi di negaranya.
Keheranan Dawit Giorgis terdengar jelas dari suaranya.
“Pertanyaan itu sangat menyimpang. Ethiopia adalah negara dengan penduduk mayoritas Kristen sebelum Inggris… Kami mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen,” ucapnya kepada BBC.
Meski demikian, Dawit Giorgis tidak meragukan bahwa film BBC yang dibuat oleh jurnalis Inggris, Michael Buerk, dan juru kamera asal Kenya, Mohamed Amin, telah menyelamatkan banyak nyawa di Ethiopia.
Sebagai kepala Komisi Pemulihan dan Rehabilitasi Ethiopia, Dawit Giorgis, berhasil menyelundupkan kru TV BBC ke negaranya.
Pemerintah Ethiopia saat itu, yang sedang merayakan 10 tahun kekuasaan Marxis dan terlibat perang saudara, tidak ingin berita tentang kelaparan tersebar.
“Cara orang-orang Inggris menanggapi dengan sangat murah hati memperkuat keyakinan saya pada kemanusiaan,” ujarn dari Namibia, tempat dia sekarang bekerja.
Ia juga memuji “orang-orang muda dan bersemangat” di balik Band Aid serta menggambarkan mereka sebagai orang yang “luar biasa”.
Tapi pertanyaannya tentang lagu itu sebetulnya adalah rangkuman dari perdebatan banyak orang yang mungkin merasa bahwa menghalalkan segala cara diperbolehkan demi menyelamatkan banyak nyawa.
‘Lagu Natal yang problematik’
Musisi Bob Geldof secara tegas membela ketika menanggapi artikel The Conversation tentang “lagu Natal yang problematik” itu.
“Itu lagu pop… Argumen yang sama telah disampaikan berkali-kali selama bertahun-tahun dan menimbulkan respons yang sama melelahkannya,” ucap Bob Geldof.
“Lagu pop pendek ini telah menyelamatkan ratusan ribu, bahkan jutaan orang.”
Ia juga mengakui bahwa orang Ethiopia merayakan Natal, tetapi klaimnya pada 1984 “upacara-upacara ditinggalkan”.
Dalam surat elektronik kepada BBC, Joe Cannon yang merupakan kepala keuangan Band Aid Trust mengatakan dalam tujuh bulan terakhir badan amal tersebut telah memberikan lebih dari £3 juta (setara Rp60 miliar) untuk membantu sebanyak 350.000 orang melalui sejumlah proyek di Ethiopia, serta Sudan, Somaliland, dan Chad.
Ia menambahkan tindakan cepat Band Aid sebagai “orang pertama yang memberikan respons” mendorong orang lain untuk menyumbang di tempat-tempat yang kekurangan dana, terutama di Ethiopia utara.
Namun, ini tidak cukup untuk meredam gejolak yang diakibatkan dari lagu tersebut.
Minggu lalu, Ed Sheeran berkata dia tidak senang dengan suaranya pada rekaman tahun 2014 yang dibuat untuk mengumpulkan dana untuk mengatasi krisis Ebola di Afrika Barat—karena “pemahamannya tentang persoalan tersebut telah berubah”.
Ed Sheeran tampaknya terpengaruh oleh rapper Inggris-Ghana, Fuse ODG, yang juga menolak untuk ambil bagian satu dekade lalu.
“Dunia telah berubah, tapi Band Aid belum,” katanya kepada siniar Focus on Africa milik BBC pada pekan ini.
“Itu seperti mengatakan tidak ada kedamaian dan kegembiraan di Afrika pada hari Natal. Seakan-akan berkata ada kematian di setiap air mata yang tumpah,” katanya mengacu pada lirik lagu versi 2014.
Adapun Fuse OGD tidak menyangkal bahwa ada masalah yang harus dituntaskan, tapi menurutnya “Band Aid hanya mengambil satu isu dari satu negara lantas menyamaratakannya ke seluruh benua.”
Cara orang Afrika digambarkan dalam penggalangan dana ini, kata dia, berdampak langsung padanya.
Ketika tumbuh dewasa, “tidaklah keren menjadi orang Afrika di Inggris… [karena] penampilan saya, orang-orang jadi mengolok-olok saya,” ujar penyanyi itu.
Dana amal untuk Afrika dan stereotipe terhadap orang Afrika
Penelitian tentang dampak penggalangan dana amal oleh dosen King’s College Inggris-Nigeria, Edward Ademolu mendukung hal ini.
Ia masih ingat film pendek yang dibuat di Afrika oleh Comic Relief yang dipengaruhi oleh Band Aid.
Gara-gara film itu, klaimnya, “teman-teman Afrika-nya di sekolah dasar [Inggris] akan menyangkal asal-usul mereka dan dengan sangat yakin menyebut semua orang Afrika bau, tidak cerdas, dan menyamakan orang Afrika dengan binatang buas”.
Gambaran orang Afrika yang sangat kurus menjadi hal yang umum dalam upaya untuk mendapatkan dana amal.
Sampul untuk single asli Band Aid, yang dirancang oleh artis pop Sir Peter Blake, menampilkan adegan Natal yang penuh warna.
Pemandangan itu kontras dengan dua anak Ethiopia yang kurus kering dalam warna hitam dan putih sedang memakan biskuit demi menyambung hidup.
Untuk bagian poster konser Live Aid tahun berikutnya, Sir Peter Blake menggunakan foto punggung seorang anak tanpa identitas, telanjang, dan kurus kering.
Foto itu digunakan lagi dalam karya seni yang dirilis tahun 2004 dan muncul sekali lagi tahun ini.
Bagi banyak orang yang bekerja di sektor bantuan dan akademisi, ada keterkejutan dan keheranan bahwa lagu dan gambar itu terus muncul.
Organisasi induk Bond, yang bekerja dengan lebih dari 300 badan amal termasuk Christian Aid, Save the Children, dan Oxfam, sangat kritis terhadap lagu tersebut.
“Inisiatif seperti Band Aid 40 mengabadikan narasi yang sudah ketinggalan zaman, memperkuat rasisme dan sikap kolonial yang merampas martabat dan hak orang-orang,” kata Lena Bheeroo.
Adapun musisi Bob Geldof sebelumnya menepis gagasan bahwa karya Band Aid bergantung pada “kiasan kolonial”.
Cara lembaga amal mengumpulkan dana telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun tetap kritis, penulis Kenya, Patrick Gathara yang sering mengejek pandangan Barat tentang Afrika setuju banyak hal telah berubah.
“Ada dorongan di lembaga kemanusiaan untuk mulai melihat orang-orang dalam kondisi krisis sebagai manusia dan bukan sebagai korban… dan saya pikir itu adalah perubahan yang sangat besar,” katanya kepada BBC.
“Pada masa Live Aid yang Anda lihat hanyalah gambaran kelaparan dan penderitaan… gagasan bahwa orang-orang ini tidak mampu melakukan apa pun untuk diri mereka sendiri, itu adalah kesalahpahaman.”
Sementara itu, protes besar-besaran Black Lives Matter menambah dorongan pada perubahan yang sudah terjadi.
Satu dekade lalu, organisasi Norwegia Radi-Aid menyoroti orang Afrika dengan unsur humor dalam kampanye penggalangan dana.
Misalnya, organisasi itu mengoordinasikan kampanye tiruan untuk meminta orang Afrika mengirim radiator kepada orang Norwegia yang diduga menderita kedinginan.
Pada 2017, Ed Sheeran sendiri memenangkan salah satu penghargaan “Rusty Radiator” untuk film yang dibuatnya untuk Comic Felief di Liberia.
Saat itu dia menawarkan untuk membayar biaya penitipan anak-anak tunawisma Liberia di sebuah kamar hotel.
Penyelenggara penghargaan mengatakan “video tersebut seharusnya tidak hanya tentang Ed Sheeran yang memikul beban sendirian, tapi juga mengajak masyarakat untuk turun tangan”.
Akademisi Universitas East Angelia, David Girling, yang pernah menulis laporan untuk Radi-Aid berpendapat pekerjaan di sana adalah salah satu alasan mengapa banyak hal telah berubah.
Ia berkata semakin banyak lembaga amal yang memperkenalkan pedoman etika untuk kampanye mereka.
“Orang-orang telah menyadari kerusakan yang bisa ditimbulkan,” ucapnya kepada BBC.
Penelitian Prof Girling, yang dilakukan di Kireba, daerah kumuh di ibu kota Kenya, Nairobi, menunjukkan kampanye yang melibatkan dan berpusat pada mereka yang menjadi target bantuan amal bisa lebih efektif daripada kebiasaan usang dari atas ke bawah.
Banyak lembaga amal masih berada di bawah tekanan untuk menggunakan selebritas guna membantu meningkatkan kesadaran dan pengumpulan dana.
Profesor Girling bahkan mengatakan beberapa media tidak akan menulis cerita penggalangan dana kecuali jika ada selebritas yang terlibat.
Namun penelitian oleh rekannya Martin Scott menunjukkan bintang-bintang besar sering kali dapat mengalihkan perhatian dari pesan utama sebuah kampanye.
Sementara selebritas mungkin mendapatkan manfaat, tapi lembaga amal dan pemahaman tentang isu yang sedang dikerjakan justru dirugikan.
Jika proyek seperti Band Aid berjalan di masa sekarang, proyek tersebut harus berpusat pada artis-artis Afrika, kata jurnalis musik Christine Ochefu kepada BBC.