Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Saham Asia Ambruk Wall Street Melemah Terseret Ketegangan Investor Jelang Perilisan Risalah The Fed – Halaman all

Saham Asia Ambruk Wall Street Melemah Terseret Ketegangan Investor Jelang Perilisan Risalah The Fed – Halaman all

Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Mayoritas saham di perdagangan bursa Asia mencatatkan penurunan,  seiring dengan kehati-hatian investor menjelang rapat kebijakan bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed).

Menurut pantauan Reuters, selama 24 jam terakhir Indeks Nikkei 225 Jepang merosot 1,39 persen, disusul Topix Jepang yang terdepresiasi 1,17 persen, sementara Shanghai Composite tergerus 1,33 persen, dan Hang Seng Hong Kong turun 1,66 persen.

Pergerakan bursa Asia-Pasifik pada hari ini cenderung mengikuti reli bursa AS, Wall Street yang berada di zona merah karena pasar mencerna data inflasi produsen yang lebih panas.

Dimana Indeks Nasdaq Composite yang didominasi saham teknologi turun 0,66 persen, atau melandai di bawah ambang batas 20.000 dan berakhir pada 19.902,84.

Penurunan juga terjadi pada Indeks pasar luas S&P 500 yang amblas 0,54 persen dan ditutup pada level 6.051,25. Kemudian, indeks Dow Jones Industrial Average terperosok 234,44 poin, atau 0,53 persen, dan ditutup pada level 43.914,12.

Prospek penurunan suku terjadi setelah investor merespon data inflasi AS periode November 2024 yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.

Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan lalu tumbuh 2,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Oktober lalu yang tumbuh 2,6 persen.

Sementara secara bulanan (month-to-month/mtm), IHK AS pada November lalu tumbuh 0,3 persen, bila dibandingkan dengan periode sebelumnya dimana pada Oktober lalu IHK hanya tumbuh 0,2 persen.

Pertumbuhan ini lantas membuat pasar berekspektasi bahwa The Fed kemungkinan besar akan memangkas suku bunga lebih agresif ke kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen pekan depan.

Kondisi tersebut semakin diperparah lantaran lain pengangguran mingguan naik lebih tinggi dari perkiraan, sementara data inflasi produsen menunjukkan hasil yang bervariasi. Inflasi grosir AS meningkat pada November karena lonjakan harga telur.

“Kami tetap berpandangan bahwa kebijakan yang bersifat inkremental dan reaktif lebih mungkin dilakukan daripada kebijakan pre-emptif dan ‘bazoka’,” kata Jian Chang, kepala ekonom Tiongkok di Barclays.

Sejauh ini Investor masih menunggu keputusan suku bunga dan data ekonomi tambahan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas terkait arah kebijakan moneter AS.

Terpisah, di tengah penurunan niali saham, mata uang dollar AS justru naik 1 persen di minggu ini, mengungguli mata uang lainnya,berkat dukungan dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah jangka panjang.

Menurut laporan pemerintah AS, Imbal hasil obligasi acuan 10 tahun naik 17 bps sementara imbal hasil 30 tahun melonjak 22 bps, kenaikan mingguan terbesar dalam lebih dari setahun.[FRX/]