Jakarta, CNBC Indonesia – Jakarta dulu memiliki mall yang identik dengan pusat perdagangan elektronik dan aksesoris. Mal tersebut yaitu, Roxy Square. Namun kini Roxy kehilangan kejayaannya dan makin sepi pengunjung.
Pergeseran gaya belanja online membuat masyarakat enggan berbelanja secara langsung . Meski demikian, beberapa pedagang masih bertahan. Apa alasannya?
Lia, salah seorang pedagang di Roxy Square, Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa biaya sewa kios di mal tersebut relatif murah dibandingkan tempat lain. Untuk ukuran kios 6,30 m², pedagang hanya dikenakan biaya tahunan sebesar Rp2,5 juta dengan tambahan service charge Rp 421.000 per bulan.
“Biaya listrik dan lain-lain sudah termasuk. Dari segi harga sewa memang murah banget,” ujar Lia kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (14/12/2024).
Kondisi ini membuat pedagang yang memilih bertahan di Roxy Square merasa lebih nyaman, daripada harus mencari tempat lain dengan biaya lebih tinggi.
Meski nyaris tidak ada pelanggan yang datang langsung ke kios, pedagang di Roxy Square memanfaatkan kios mereka sebagai gudang atau kantor untuk mendukung bisnis online mereka.
“Kalau buat jualan orang datang, ya sudah wasalam, nggak ada yang beli. Tapi kalau untuk jualan online, masih aman,” jelas Lia.
Kepraktisan ini menjadi salah satu alasan pedagang tetap bertahan di tengah sepinya pengunjung. Selain murah, Lia menyebut kios di dalam mal memberikan kenyamanan tersendiri bagi pedagang, terutama fasilitas Air Conditioner (AC) dan ruangan yang bersih membuat barang dagangan para pedagang lebih terjaga, dibandingkan harus berjualan di pinggir jalan.
“Kalau saya jualan di pinggir jalan, itu risiko kena debu. Repot juga ya. Kalau di sini lebih aman,” katanya.
Namun, untuk fasilitas mal lainnya, seperti eskalator, itu sudah tidak lagi berfungsi sepenuhnya. Kata Lia, eskalator sering dimatikan dan baru dihidupkan saat karyawan kantor yang berada di lantai 1-5 turun untuk makan siang. Pendingin udara juga dimatikan pada sore hari, meskipun operasional mal resmi hingga pukul 21.00 WIB.
Kini, lantai atas Roxy Square telah berubah fungsi menjadi kantor, seperti kantor Sinarmas Group yang mendominasi lantai 1 hingga 5. Sementara aktivitas berjualan di mal ini lebih banyak dipusatkan di lantai LG, G, dan UG, tempat beberapa kios masih buka.
Akan tetapi, sebagian besar pedagang mengandalkan penjualan online untuk bertahan. Suara pedagang yang dulu bersahut-sahutan menawarkan dagangannya, kini digantikan dengan aktivitas pengemasan barang dan pencatatan pesanan online.
Sebagaimana diketahui, dahulu Roxy Square merupakan satu destinasi utama bagi mereka yang mencari elektronik, aksesoris, hingga pakaian. Kini, suasana mal bak kuburan, jauh dari aktivitas jual-beli yang semestinya.
“Kalau mau cari pelanggan reguler, sudah nggak mungkin lagi. Tapi kalay kios untuk dijadikan gudang atau kantor, masih bisa bertahan,” kata Lia, sembari merapikan barang dagangannya.
Dengan kondisi yang kian memprihatinkan, kejayaan Roxy Square tampaknya hanya tinggal cerita masa lalu. Pedagang yang bertahan harus beradaptasi atau perlahan mundur dari mal yang dulunya menjadi ikon perdagangan di Jakarta.
Sebagai catatan, artikel ini ditulis berdasarkan hasil pantauan langsung di lapangan dan wawancara dengan narasumber yang tersedia. Sampai berita ini ditayangkan, CNBC Indonesia telah berupaya menghubungi dan menemui pihak pengelola Roxy Square untuk mendapatkan konfirmasi serta tanggapan terkait kondisi mal, namun pihak pengelola belum memberikan respons.
Upaya komunikasi telah dilakukan melalui kunjungan langsung ke kantor pengelola, penjelasan mengenai keperluan wawancara, serta panggilan telepon. Artikel ini tetap berkomitmen pada prinsip pemberitaan yang berimbang dan terbuka untuk memuat tanggapan dari pihak pengelola apabila disampaikan di kemudian hari.
(luc/luc)