TRIBUNJATIM.COM – Dua bidan di Yogyakarta ditangkap polisi lantaran terlibat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
DM (77) dan JE (44) juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut keterangan polisi, praktik ini sudah dilakukan keduanya sejak 2010.
66 bayi pun sudah dijual dengan harga Rp55 juta hingga Rp65 juta.
Saking lama tak terendus, tetangga sekitar klinik yang dimiliki DM mengaku kaget.
Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com
Tetangga ini bernama Rio (24), mengatakan klinik DM sudah beroperasi lama.
Rio mengaku kaget saat petugas kepolisian membongkar praktik perdagangan bayi di klinik tersebut.
“Saya malah baru tahu. Klinik itu sudah lama sekali, sejak saya kecil sudah ada.”
“Pokoknya, cuma tempat kelahiran aja,” bebernya, Jumat (13/12/2024).
Rio menambahkan DM sempat menjadi ketua RW dan sosoknya cukup terkenal di desa.
“Dulu pas saya SMA sempat jadi ketua RW, saya berurusan (dengan tersangka) pas ngurus KTP,” imbuhnya.
Dirreskrimum Polda DIY, Kombes Pol FX Endriadi, menyatakan modus yang dipakai kedua tersangka yakni merawat bayi dari orang tua yang tidak menghendaki memiliki anak.
“Modusnya mencari para adopter atau orang yang akan mengadopsi, para pasangan yang akan mengadopsi ke yang bersangkutan,” terangnya.
Kedua tersangka telah menjual 66 bayi sejak 2010 lalu dengan rincian 28 bayi laki-laki, 36 bayi perempuan dan 2 bayi yang tak diberi keterangan jenis kelaminnya.
Kombes Pol FX Endriadi, mengatakan jumlah bayi yang dijual tercatat di buku transaksi.
“Didapat informasi bahwa para tersangka ini telah melakukan penjualan ataupun berkegiatan sejak tahun 2010.”
“Berdasarkan hasil sementara pemeriksaan dari penyidik kami, diketahui dari kegiatan kedua tersangka tersebut, telah mendapatkan data sebanyak 66 bayi,” ungkapnya, Kamis (12/12/2024), dikutip dari TribunJogja.com.
Ia menambahkan kedua tersangka menjual bayi dengan harga berbeda-beda tergantung jenis kelamin.
“Data terakhir yang disepakati untuk bayi perempuan Rp55 juta dan bayi laki-laki Rp60 sampai Rp65 juta,” sambungnya.
Pada tahun 2024, tercatat ada bayi yang dijual ke Bandung dan Yogyakarta.
Proses penyelidikan kasus penjualan bayi masih dilakukan termasuk mendalami peran tersangka yang berstatus residivis.
“Kami masih melakukan proses pemeriksaan pendalaman terhadap perkara ini,” tuturnya.
Akibat perbuatannya. kedua tersangka dapat dijerat Pasal 83 tentang Perlindungan Anak serta Pasal 76F Perlindungan Anak dengan hukuman paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp300 juta.
Sementara itu, Kabid Humas Polda DIY, Kombes Nugroho Arianto, mengatakan pembeli berasal dari berbagai daerah mulai Yogyakarta hingga Papua.
“Dalam dan luar Kota Yogyakarta termasuk ke berbagai daerah seperti Papua, NTT, Bali, Surabaya dan lain-lain,” tukasnya.
Pekerja Dinsos Kota Yogyakarta, Muhammad Isnan Prasetyo, menegaskan proses adopsi bayi memerlukan proses yang cukup panjang sesuai aturan yang berlaku.
“Pengangkatan anak ini sangat seksi kepada masyarakat karena banyak yang melaporkan dan mendaftarkan di kami.”
“Kalau dulu belum ada izin, saat ini sudah ada ketentuannya maka harus diproses secara legal,” tegasnya.
Ia menjelaskan proses adopsi melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai Dinsos hingga sejumlah lembaga terkait.
“Kami gratis tidak dipungut biaya, bisa terbuka, transparansi dan kami melibatkan beberapa pihak dari tokoh masyarakat, tokoh wilayah, dan beberapa stakeholder dari dinas dukcapil,” pungkasnya.
Legislatif desak penyisiran izin klinik bersalin di Yogyakarta
Kalangan legislatif mendesak Pemkot Yogyakarta melakukan penyisiran izin praktik klinik bersalin yang berdiri di wilayahnya.
Desakan itu muncul sebagai respon atas kasus sindikat penjualan bayi sejak beberapa tahun terakhir, dengan total 66 bayi yang diperdagangkan, oleh sebuah klinik bersalin di Tegalrejo.
Dalam kasus tersebut, dua perempuan yang disebut sebagai bidan inisial JE (44) dan DM (77), ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Polda DIY.
Anggota Komisi D DPRD Kota Yogya, Nurcahyo Nugroho, menandaskan bahwa kasus yang baru saja terkuak ini sangat memprihatinkan.
“Prihatinnya itu kenapa baru sekarang terendus, karena itu sebuah praktik yang secara hukum agama jelas salah dan secara hukum positif juga sebuah kesalahan,” cetusnya, Jumat (13/12/2024).
Alhasil, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut mendesak Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogya supaya mengecek kembali perizinan klinik bersalin dan sejenisnya.
Menurutnya, fenomena ini harus segera disikapi, supaya kejadian-kejadian serupa bisa diantisipasi dan tidak terulang lagi di masa mendatang.
“Kita minta Dinas Kesehatan untuk mengecek perizinan. Harus diinspeksi dan dikuatkan sosialisasi, bahwa hak anak ada di orangtuanya. Jangan sampai berpindah dengan cara yang ilegal,” katanya.
Nurcahyo menyebut, praktik semacam ini bisa jadi cukup marak di tengah masyarakat, meski dengan modus yang jauh berbeda dengan kasus TPPO di Tegalrejo.
Apalagi, belum lama ini pihaknya menerima beberapa informasi, misalnya ada kelahiran yang tercatat, tapi orangtuanya tidak menginginkan bayi tersebut.
“Kemudian orangtuanya langsung mengaktakan atas nama orang yang mengepek, istilahnya, bukan adopsi, tapi langsung dipek (diambil),” tandasnya.
“Secara warisnya langsung diputus dan diberikan ke orang lain. Praktik seperti itu ada dan terjadi di tengah masyarakat,” pungkas Nurcahyo.
—–
Berita Jatim dan berita viral lainnya.