TRIBUNNEWS.COM – Konflik di Suriah yang berhasil menggulingkan rezim Bashar al-Assad justru bisa menjadi kerugian Iran dan Rusia. Mengapa demikian?
Pengamat dunia Internasional sekaligus Kepala Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Sahide menyebut Iran dan Rusia menjadi dua pihak yang dirugikan atas berakhirnya rezim Bashar al-Assad.
Ahmad mengatakan, sejak 1979 terdapat dua kubu yang membangun kekuatan politik di Suriah.
“Satu kubu dipimpin oleh Iran, dan itu di sana ada Suriah dulu, ada Libya, Hamas, dan Hizbullah.”
“Kemudian ada kubu yang dipimpin oleh Arab Saudi yang itu tentu pro dengan Amerika Serikat dan Israel,” ungkap Ahmad Sahide dalam talkshow Overview Tribunnews, Rabu (11/12/2024).
Suriah, lanjut Ahmad, merupakan negara mayoritas Sunni yang dipimpin oleh kelompok Syiah.
“Itulah yang membuat Suriah dengan Iran mudah untuk membangun aliansi politik karena di Iran kita tahu mayoritas Syiah kurang lebih 90 persen.”
“Tetapi uniknya di Suriah Bashar al-Assad mampu membangun dan mempertahankan rezimnya sekian lama,” ujarnya.
Setelah Bashar al-Assad jatuh, Ahmad menyebut yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan akan menjadi pemimpin Suriah berikutnya?
“Apakah kemudian dari kelompok Sunni? Nah kalau kemudian dari kelompok Sunni nantinya yang berkuasa memberi ruang itu tentu akan menjadi kerugian bagi Iran,” ungkapnya.
Bagaimana dengan Rusia?
Ahmad Sahide mengungkapkan, apabila kelompok Sunni yang menjadi pemimpin Suriah dan tidak pro dengan Rusia, maka itu akan merugikan kepentingan negara yang dipimpin Vladimir Putin itu.
“Kita tahu bahwa dari Suriah ke Rusia itu kan ada pipa minyak di bawah laut, nah itu pasti akan terganggu kalau kemudian rezim yang berkuasa nantinya itu tidak pro dengan dengan Rusia.”
“Maka kemarin kan Putin mengatakan ya, jangan sampai kemudian kepentingan Rusia itu diganggu dengan adanya dinamika politik yang terjadi di Suriah,” ungkapnya.
“Nah ke depannya tentu pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi menjadi pemimpin Suriah berikutnya, apakah kelompok yang pro dengan Iran dan Rusia atau kemudian yang pro dengan Amerika Serikat,” ujar Ahmad Sahide.
Diketahui sebelumnya, Pada 8 Desember 2024, rezim Bashar al-Assad runtuh setelah pasukan oposisi berhasil merebut ibu kota, Damaskus.
Serangan kilat ini dimulai pada akhir November 2024, dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan didukung oleh kelompok pemberontak lainnya.
Mereka berhasil menguasai kota-kota penting seperti Aleppo, Hama, dan Homs sebelum akhirnya mencapai Damaskus.
Setelah itu, Bashar al-Assad meninggalkan Suriah menuju Rusia.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)