Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Akademisi dari Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya, Indra Budi Sumantoro, mengungkapkan sejumlah potensi dampak negatif dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
Hal tersebut diunkap Indra saat dihadirkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/12/2024).
Indra menyebut, kewajiban iuran Tapera dan pengenaan sanksi dapat menurunkan gairah investasi serta meningkatkan jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pekerja yang ter-PHK dan/atau Pemberi Kerja yang dibekukan atau dicabut izin usahanya berpotensi jatuh miskin, namun masih dipaksa membayar seluruh simpanan yang diwajibkan beserta denda administratifnya,” ujar Indra.
Indra menyoroti UU Tapera mewajibkan pekerja dengan penghasilan minimal upah minimum dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta program Tapera.
Pemberi kerja juga diwajibkan mendaftarkan pekerjanya.
Namun, pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.
Ia juga menilai manfaat Tapera yang baru bisa diambil saat pensiun tumpang tindih dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan, PT Asabri, atau Tabungan Hari Tua dari PT Taspen.
Selain itu, kewajiban iuran yang memotong 2,5 persen gaji pekerja dinilai memberatkan dibandingkan dengan kontribusi pemberi kerja yang hanya 0,5 persen.
“Hal ini tentunya tidak sejalan dengan langkah pemerintah yang justru ingin meningkatkan gairah investasi guna menyerap kembali tenaga kerja yang banyak di-PHK belakangan ini akibat perlambatan ekonomi global,” tuturnya.
UU Tapera Dinilai Cacat Hukum
Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, yang juga hadir sebagai ahli, menyebut UU Tapera melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Ia menjelaskan bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak masyarakat untuk memiliki tempat tinggal, tetapi tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk memaksa pekerja menabung.
“Tidak ada satu pun di dalam UUD yang bisa dijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk memaksa pekerja menabung. Sehingga UU Tapera, khususnya Pasal 7 ayat 1, Pasal 9 ayat 1, dan Pasal 18 ayat 1, terbukti cacat hukum dan melanggar hak asasi manusia,” jelas Anthony.
Ia juga menilai kebijakan Tapera bertentangan dengan prinsip ekonomi, seperti teori preferensi likuiditas dan teori utilitas, yang menghormati kebebasan manusia menentukan pilihannya.
“Pemaksaan menabung bagi pekerja membatasi kebebasan mereka untuk menentukan pilihan konsumsi antara saat ini atau nanti, sehingga melanggar hak asasi seseorang,” tambahnya.