Jakarta, CNN Indonesia —
Hakim agung Soesilo yang menjadi ketua majelis kasasi perkara nomor: 1466/K/Pid/2024 berpendapat tidak ada niat jahat atau mens rea dalam diri terdakwa Gregorius Ronald Tannur (31) untuk membunuh Dini Sera Afriyanti (29).
Hal itu termuat dalam salinan putusan yang diunggah di laman Kepaniteraan Mahkamah Agung (MA). Soesilo mempunyai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari dua hakim agung lain yang secara tegas menyatakan Ronald Tannur bersalah dan harus dijatuhi hukuman pidana.
“Konstruksi fakta yang dibangun dalam surat dakwaan penuntut umum dihubungkan dengan alat bukti dan maka muncul konklusi ataupun kesimpulan bahwa terdakwa tidak mempunyai mens rea untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum sehingga putusan judex facti (majelis hakim PN Surabaya) yang membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum sudah tepat,” ujar Soesilo.
Menurut dia, putusan judex facti telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana terungkap dalam persidangan berdasarkan alat bukti yang sah sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dalam pendapatnya, Soesilo turut menguraikan fakta hukum yang terungkap di mana terdakwa bersama Dini beserta saksi Ivan Sianto, saksi Rahmadani Rifan Nadifi, saksi Eka Yuna Prasetya, saksi Allan Christian dan saksi Hidayati Bela Afista alias Bela berkaraoke, makan dan meminum minuman keras beralkohol jenis Tequilla Jose dan minuman lainnya di Room Nomor 7 Blackhole KTV.
Terdakwa bersama Dini meninggalkan Room Nomor 7 dengan terdakwa membawa botol Tequilla Jose yang ada sisa minumannya. Kemudian terjadi perselisihan antara terdakwa dan Dini di mana Dini disebut menampar dan menarik jaket terdakwa.
Atas hal itu, terdakwa sempat mendorong badan Dini pada bagian dada. Perdebatan kembali terjadi di rubanah atau basement sehingga keduanya kembali ke lift untuk mengecek kamera pengawas atau CCTV. Akan tetapi, sekuriti tidak memberikan hasil rekaman gambar.
Selanjutnya terdakwa kembali ke rubanah, dan saat berada di rubanah, terdakwa kesal dan menyuruh Dini yang sedang bermain handphone untuk pulang bersama teman-temannya.
Terdakwa kemudian menyalakan mobil, melihat dari spion, dan kemudian terdakwa berbelok ke kanan menuju arah keluar rubanah. Saat itu terdakwa meyakini tidak mendengar suara apa pun.
Terdakwa mengetahui Dini tergeletak pada saat akan memakai sabuk pengaman dari spion tengah. Terdakwa turun mendatangi Dini dengan disaksikan saksi Fajar Fahrudin dan saksi Imam Subekti, bersama-sama memasukkan Dini ke kabin belakang mobil. Terdakwa selanjutnya membawa pulang Dini ke tempat tinggalnya di Apartemen Orchad Tanglin.
Dari rekaman CCTV pada area parkir rubanah Lenmarc, menunjukkan posisi mobil terdakwa dalam posisi terparkir, bergerak dan kemudian berbelok ke kanan, lalu jalan lurus dan berhenti. Sedangkan keberadaan posisi diri Dini berada di sebelah kiri kendaraan terdakwa.
Dini disebut masih bernyawa saat tiba di di Apartemen Orchad Tanglin karena badannya masih bergerak, dan terdakwa menaruh Dini di kursi roda. Akan tetapi, Dini yang berada di kursi roda tersebut dalam kondisi tidak bergerak sehingga dilakukan pertolongan pertama.
Terdakwa bersama saksi Retno Happy Purwaningtyas dan kedua sekuriti apartemen membawa Dini menuju Rumah Sakit (RS) National Hospital dengan kondisi Dini sudah tidak merintih. Lalu diproses oleh IGD RS National Hospital menggunakan alat Defibrilator (alat kejut Listrik) dan selanjutnya Dini dinyatakan tidak bernyawa.
Dokter IGD RS National Hospital menyarankan agar dibawa ke RS Dr Soetomo, dan RS Dr Soetomo menyampaikan agar membuat laporan karena ada luka yang tidak wajar.
Hasil visum et repertum Nomor: KF.23.0465 tertanggal 13 Oktober 2023 yang dilaksanakan oleh Dokter Pemeriksa dr. Renny Sumino, Sp.FM., M.H, dalam kesimpulannya dengan sebab kematian Dini adalah karena luka robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan tumpul sehingga terjadi pendarahan, yang didasarkan pada hasil pemeriksaan dalam dan luar, serta pemeriksaan tambahan yaitu ditemukan alkohol pada lambung dan darah, pelebaran pembuluh darah pada otak besar, hati, ginjal kanan dan kiri, pendarahan pada tempat pertukaran udara paru kanan bawah dan paru kiri atas.
“Bahwa meskipun terdapat visum et repertum yang menjelaskan kematian Dini Sera Afrianti, namun hasil visum et repertum tersebut tidak serta merta menyatakan terdakwa lah sebagai pelaku perbuatan terhadap Dini Sera Afrianti, apalagi sampai adanya dugaan terdakwa melindas tubuh Dini Sera Afrianti sebagai sebab meninggalnya Dini Sera Afrianti karena tidak ada alat bukti yang membuktikan dugaan tersebut,” ucap Soesilo.
Kata dia, hakim dalam perkara pidana mempunyai hak dan kewajiban mempertimbangkan secara cermat segala hal yang dapat membantu memperjelas perkara selama persidangan. Di antaranya dengan cara menggali fakta-fakta dari keterangan saksi-saksi, ahli dan keterangan terdakwa yang dihadirkan di persidangan. Hal itu merupakan perwujudan tujuan hukum pidana yaitu mencari kebenaran materiel.
“Bahwa saksi-saksi yang telah memberikan keterangan di persidangan tidak dapat menerangkan perbuatan yang diduga dilakukan oleh terdakwa,” ucap Soesilo.
“Selain itu, apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian, maka dapat menggunakan alat bukti petunjuk yang merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena kesesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa,” imbuhnya.
Menurut Soesilo, alat bukti petunjuk dalam perkara a quo tidak dapat digunakan mengingat keterangan saksi-saksi secara jelas dan tegas tidak melihat dugaan perbuatan terdakwa. Selain itu, keterangan terdakwa pun secara tegas menyatakan tidak melakukan dugaan perbuatan sebagaimana dituduhkan penuntut umum.
“Selain itu pula dari bukti-bukti elektronik dari rekaman CCTV tidak menunjukkan terdakwa telah melindas tubuh Dini Sera Afrianti dengan menggunakan mobil terdakwa,” tambah Soesilo.
Sebelumnya, MA membatalkan vonis bebas Ronald Tannur dan menghukum yang bersangkutan dengan pidana lima tahun penjara. Dua hakim agung yang menilai Ronald Tannur bersalah ialah Ainal Mardhiah dan Sutarjo. Putusan kasasi dibacakan pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Tim pemeriksa MA sudah memeriksa dugaan pelanggaran kode etik Soesilo. Tim pemeriksa menyatakan Soesilo tidak melanggar kode etik.
(ryn/isn)
[Gambas:Video CNN]