TRIBUNNEWS.COM, DAMASKUS – Pemberontak Suriah mendeklarasikan penggulingan Presiden Bashar al-Assad setelah menguasai Damaskus pada hari Minggu(8/12/2024).
Hal ini sebagai penanda berakhirnya pemerintahan tangan besi keluarganya setelah lebih dari 13 tahun perang saudara dalam sebuah momen yang menggemparkan di Timur Tengah.
Pemberontak juga memberikan pukulan besar terhadap pengaruh Rusia dan Iran di wilayah tersebut, sekutu utama yang mendukung Assad pada saat-saat kritis dalam konflik tersebut. Kedutaan Besar Iran juga diserbu oleh pemberontak Suriah setelah mereka merebut Damaskus.
Komando militer Suriah memberi tahu para perwira bahwa pemerintahan Assad telah berakhir. Namun tentara Suriah kemudian mengatakan pihaknya terus melanjutkan operasi melawan kelompok teroris di kota-kota utama Hama dan Homs serta di pedesaan Deraa.
Assad yang telah menghancurkan segala bentuk perbedaan pendapat, terbang keluar dari Damaskus ke tujuan yang tidak diketahui pada Minggu pagi, kata dua perwira senior militer kepada Reuters, ketika pemberontak mengatakan mereka memasuki ibu kota tanpa tanda-tanda pengerahan tentara.
“Kami bersama rakyat Suriah merayakan berita pembebasan tahanan kami dan melepaskan belenggu mereka serta mengumumkan berakhirnya era ketidakadilan di penjara Sednaya,” kata pemberontak, merujuk pada sebuah penjara besar di pinggiran Damaskus tempat pemerintah Suriah menahan diri.
Koalisi pemberontak Suriah mengatakan pada hari Minggu bahwa mereka terus berupaya untuk menyelesaikan pengalihan kekuasaan di Suriah kepada badan pemerintahan transisi dengan kekuasaan eksekutif penuh.
“Revolusi besar Suriah telah beralih dari tahap perjuangan menggulingkan rezim Assad ke perjuangan membangun Suriah bersama yang sesuai dengan pengorbanan rakyatnya,” tambahnya dalam sebuah pernyataan.
Ribuan orang yang mengendarai mobil dan berjalan kaki berkumpul di alun-alun utama di Damaskus sambil melambaikan tangan dan meneriakkan “Kebebasan” dari setengah abad pemerintahan keluarga Assad.
Keruntuhan tersebut menyusul pergeseran keseimbangan kekuasaan di Timur Tengah setelah banyak pemimpin kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung Iran, yang merupakan tulang punggung pasukan Assad dibunuh oleh Israel selama dua bulan terakhir. Rusia, sekutu penting Assad lainnya, fokus pada perang di Ukraina.
Pemerintahan Transisi
Apa yang terjadi di Suriah mengejutkan negara-negara Arab dan menimbulkan kekhawatiran akan gelombang baru ketidakstabilan regional terutama di Timur Tengah.
Peristiwa ini menandai titik balik bagi Suriah yang hancur akibat perang bertahun-tahun yang telah mengubah kota-kota menjadi puing-puing, menewaskan ratusan ribu orang, dan memaksa jutaan orang mengungsi ke luar negeri.
Menstabilkan wilayah barat Suriah yang dikuasai pemberontak akan menjadi kuncinya. Pemerintah negara-negara Barat yang telah menghindari negara yang dipimpin Assad selama bertahun-tahun harus memutuskan bagaimana menghadapi pemerintahan baru kelompok Islam Sunni Hayat Tahrir al-Sham (HTS) tampaknya akan memiliki pengaruh.
“Amerika Serikat akan terus mempertahankan kehadirannya di Suriah timur dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kebangkitan kembali ISIS, ” ujar Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Timur Tengah Daniel Shapiro mengatakan pada konferensi keamanan Dialog Manama di ibu kota Bahrain dikutip dari Reuters.
HTS yang mempelopori kemajuan pemberontak di Suriah barat, sebelumnya merupakan afiliasi Al Qaeda yang dikenal sebagai Front Nusra hingga pemimpinnya Abu Muhammed al-Golani memutuskan hubungan dengan gerakan jihad global pada tahun 2016.
“Pertanyaan sebenarnya adalah seberapa tertib transisi ini, dan tampaknya cukup jelas bahwa Golani sangat ingin transisi ini berjalan dengan tertib,” kata Joshua Landis, pakar Suriah dan Direktur Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Oklahoma.
Golani tidak ingin terulangnya kekacauan yang melanda Irak setelah pasukan pimpinan Amerika menggulingkan Saddam Hussein pada tahun 2003.
“Mereka harus membangun kembali mereka membutuhkan Eropa dan Amerika untuk mencabut sanksi,” kata Landis.
HTS adalah kelompok pemberontak terkuat di Suriah dan sebagian warga Suriah masih khawatir kelompok itu akan menerapkan aturan Islam yang kejam atau memicu aksi pembalasan.
Negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Mesir, keduanya merupakan sekutu dekat AS, memandang kelompok militan Islam sebagai ancaman nyata, sehingga HTS mungkin menghadapi perlawanan dari kekuatan regional.
Dalam sebuah konferensi di Manama, Anwar Gargash, penasihat diplomatik presiden Uni Emirat Arab, mengatakan kekhawatiran utama negara itu adalah “ekstremisme dan terorisme.”
Dia mengatakan Suriah belum keluar dari masalah dan menambahkan bahwa dia tidak tahu apakah Assad berada di UEA atau tidak.
Gargash menyalahkan jatuhnya Assad karena kegagalan politik dan mengatakan dia belum pernah menggunakan ‘jalur penyelamat’ yang ditawarkan kepadanya oleh berbagai negara Arab sebelumnya, termasuk UEA.(reuters)