Mataram, Beritasatu.com – Kasus seorang disabilitas berinisial Agus alias Iwas, asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) terus menyita perhatian publik. Hingga kini, korban yagn mengaku dilecehkan terus bermunculan.
Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) NTB, terus mendapat laporan dari warga yang diduga keluargnya menjadi korban Agus, Selasa (3/12/2024).
Menurut Ketua KDD NTB Joko Jumadi, jumlah korban yang melapor makin bertambah dalam beberapa hari terakhir. Hingga pagi ini, KDD telah menerima dua laporan baru, sehingga total korban yang teridentifikasi mencapai sekitar 10 orang, di luar tiga korban yang saat ini menjalani pemeriksaan di kepolisian.
“Sistemnya adalah korban melaporkan kepada kami, kemudian tim kami melakukan komunikasi langsung dengan mereka. Ada yang memilih memberikan keterangan ke penyidik kepolisian melalui kami, dan ada juga yang langsung datang ke Polda NTB untuk proses berita acara pemeriksaan (BAP),” jelas Joko.
Salah satu aspek yang memperumit kasus ini adalah adanya korban di bawah umur. Menurut Joko Jumadi, jika korban adalah anak-anak, maka laporan polisi (LP) baru perlu dibuat karena pasal hukum yang diterapkan berbeda dengan kasus orang dewasa.
“Ini menjadi kekhawatiran kami. Untuk kasus anak-anak, perlu perlakuan khusus sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak. Kami berharap kepolisian dapat menanganinya secara terpisah untuk memastikan keadilan yang maksimal bagi korban,” tambah Joko.
Keterlibatan KDD dalam memberikan bantuan kepada Agus sebagai tersangka telah menuai kritik dari beberapa pihak. Masyarakat khawatir bahwa peran KDD mungkin menjadi tidak objektif atau cenderung membela tersangka. Namun, Joko Jumadi dengan tegas membantah hal ini dan menegaskan bahwa KDD berkomitmen untuk bersikap netral.
“Kami tetap objektif. Tugas kami adalah mendampingi semua pihak sesuai dengan peran kami sebagai Komite Disabilitas. Namun, yang menjadi perhatian kami adalah fakta bahwa jumlah korban terus bertambah, dan ini tentu harus diusut secara menyeluruh,” kata Joko.
Sebagai bagian dari langkah penanganan, KDD berencana menawarkan pendampingan psikologis, baik untuk korban maupun tersangka. Joko Jumadi menyebut bahwa pendekatan ini bertujuan untuk memahami lebih dalam motif dan latar belakang perilaku Agus.
“Kami tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Agus memiliki masalah psikologis yang mendasari tindakannya. Hari ini, kami berencana mengkomunikasikan hal ini dengan Agus langsung di rumahnya,” ujar Joko.
Pendampingan psikologis juga direncanakan untuk korban, terutama anak-anak, agar mereka dapat pulih dari trauma dan memberikan keterangan secara lebih nyaman.
“Kami berharap kepolisian dapat bersikap bijak dalam menangani kasus ini. Yang terpenting adalah keadilan bagi para korban, terutama anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus,” ungkap Joko Jumadi.
Sementara itu, Andre Safutra, pendamping korban dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) NTB, mengungkapkan beberapa fakta baru terkait kasus Agus.
Berdasarkan keterangan pemilik homestay, Agus membawa sembilan perempuan ke tempat tersebut. Jika semua korban terverifikasi, jumlah totalnya dapat mencapai 19 orang.
“Dua korban baru telah menyatakan kesediaannya untuk memberikan keterangan. Salah satunya adalah orang tua korban yang anaknya menjadi korban di masa lalu, sementara kasus lainnya terjadi pada Februari atau Maret tahun ini dengan modus serupa,” jelas Andre.
Kejadian ini mengindikasikan bahwa kasus Agus bukan hanya insiden tunggal, tetapi melibatkan pola perilaku yang telah berlangsung selama beberapa waktu.
“Salah satu kasus yang dilaporkan melibatkan seorang anak di bawah umur yang kejadiannya berlangsung di taman Udayana, dekat pos polisi. Modus operasi Agus dikabarkan serupa di setiap kasus, dan ini memunculkan pola perilaku yang dapat menjadi dasar penyelidikan lebih lanjut,” teranya.
Masyarakat NTB berharap agar kasus Agus “NTB” ini dapat diselesaikan secara transparan dan profesional. Selain itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas dalam proses hukum agar keadilan dapat dirasakan oleh korban maupun tersangka.