Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia

Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia

Anggota KPPS menujukkan surat suara tidak sah saat penghitungan surat suara Pilkada DKI Jakarta 2024 di TPS 32 Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.)

Fenomena Choice Fatigue dalam Pilkada di Indonesia
Dalam Negeri   
Editor: Calista Aziza   
Jumat, 29 November 2024 – 16:23 WIB

Elshinta.com – Hasil penelitian yang dilakukan dua periset, Ned Augenblick dan Scott Nicholson, menunjukkan adanya fenomena yang sangat menarik dalam pemilihan umum.

Penelitian yang didanai the George P. Shultz Fund di Stanford Institute for Economic Policy Research itu fokus pada topik Choice fatigue and voter behavior dan mengungkap fakta bahwa kelelahan memilih (choice fatigue) berdampak signifikan pada perilaku pemilih dalam pemilihan umum.

Studi ini menemukan bahwa semakin banyak keputusan yang harus dibuat oleh pemilih dalam surat suara, semakin besar kemungkinan mereka tidak menggunakan hak pilih secara penuh (undervote).

Selain itu, pemilih cenderung mengandalkan pola yang sederhana, seperti memilih kandidat pertama dalam daftar atau opsi yang dianggap aman, meskipun itu mungkin bukan keputusan optimal.

Temuan ini didasarkan pada eksperimen alami di California, yang menunjukkan bahwa penurunan posisi kandidat di surat suara cenderung meningkatkan abstensi sebesar 0,11 persen per posisi.

Relevansi penelitian ini sangat terasa di Indonesia, terutama dalam pelaksanaan pemilu serentak yang kompleks, di mana pemilih dihadapkan pada surat suara yang panjang dan melibatkan banyak kandidat dari berbagai tingkat pemerintahan.

Pada Pemilu 2019, misalnya, menunjukkan fenomena ballot roll-off, di mana banyak pemilih fokus pada pemilihan presiden, sementara pemilihan legislatif sering diabaikan.

Hal ini menunjukkan bahwa pemilih menghadapi beban kognitif yang berat dalam membuat keputusan secara bersamaan, mirip dengan choice fatigue yang ditemukan dalam penelitian Augenblick dan Nicholson.

Riset itu semakin relevan kini dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, ketika diketahui angka partisipasi pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 disebut paling rendah dalam sejarah pilkada di wilayah ibu kota itu, sejak 2007.

Tercatat partisipasi pemilih pada Pilgub DKI Jakarta 2024 hanya mencapai 4.357.512. Sementara itu, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8.214.007. Artinya, partisipasi pemilih di Jakatta ada di angka 53,05 persen atau yang golput mencapai 46,95 persen.

Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia dapat mempertimbangkan beberapa strategi yang diusulkan dalam penelitian tersebut, seperti mengurangi jumlah kontes dalam satu pemilu, melakukan pengacakan posisi kandidat dalam surat suara, atau memberikan jeda waktu yang lebih panjang antarpemilu.

Pendekatan ini dapat membantu mengurangi beban psikologis pemilih dan meningkatkan kualitas partisipasi.

Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta harus lebih menggencarkan sosialisasi ke masyarakat agar rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 27 November 2024 tidak terulang.

Ia juga berpandangan bahwa beberapa kelompok masyarakat beranggapan semua keputusan terkait kehidupan sehari-hari tergantung pada keputusan nasional, yakni presiden dan jajaran legislatif sehingga masyarakat lebih antusias saat Pemilu Februari lalu dibandingkan saat harus memilih gubernur.

Partisipasi pemilih

Dalam setiap demokrasi, partisipasi pemilih menjadi indikator penting keberhasilan proses politik. Indonesia sendiri secara keseluruhan sedang menghadapi fenomena tren penurunan partisipasi pemilih dalam pilkada.

Fenomena yang sering disebut voter fatigue ini sekarang sedang menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, termasuk pengamat politik, Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Apakah benar masyarakat mulai jenuh dengan pemilu yang sering diadakan dalam waktu berdekatan, dan apakah hal ini cukup kuat untuk menjadi pertimbangan memisahkan kembali pemilu serentak?

Fenomena voter fatigue atau kelelahan pemilih, umumnya terjadi ketika masyarakat merasa terbebani dengan intensitas pemilu yang terlalu sering atau rumit.

Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu serentak dimulai dari pemilu legislatif, pilpres, hingga pilkada didesain untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan memperkuat sistem presidensial. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan tantangan baru yang tidak terduga.

Data dari beberapa pilkada terakhir menunjukkan penurunan partisipasi di sejumlah daerah. Pada Pilkada Serentak 2020, misalnya, partisipasi pemilih tercatat sekitar 76,09 persen, turun dibandingkan Pilpres 2019 yang mencapai 81 persen.

Meski angka ini masih tergolong tinggi di tingkat global, tren penurunan tetap menjadi alarm bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia.

Dalam diskusi dengan beberapa pengamat politik, banyak yang mengaitkan fenomena ini dengan kelelahan pemilih akibat intensitas pemilu yang terlalu tinggi dalam kurun waktu singkat.

Ditambah lagi, pandemi COVID-19, saat itu, juga menjadi faktor penghambat yang mempengaruhi tingkat partisipasi.

Namun, voter fatigue bukan hanya soal jadwal. Ada elemen lain yang memperparah jenuh pemilih, yaitu minimnya diferensiasi program dan visi antarkandidat.

Sejumlah pemilih yang diwawancarai mengungkapkan, pilihan mereka tidak banyak berpengaruh. Kandidat sering kali menjanjikan hal yang sama, tetapi kenyataannya tidak banyak berubah.

Ungkapan ini mencerminkan keresahan sebagian masyarakat bahwa pemilu hanya menjadi ritual politik tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan mereka.

Fenomena ini harus disadari sebagai ancaman bagi demokrasi partisipatif, sehingga perlu kajian mendalam tentang dampak pemilu serentak terhadap partisipasi pemilih.

Pemilu serentak

Terlepas dari perdebatan yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah apakah perlu memisahkan kembali pemilu serentak? Jawabannya, tentu tidak sederhana.

Pemilu serentak dicanangkan untuk menyederhanakan proses pemilu dan mengurangi biaya negara, tetapi jika implementasinya justru menimbulkan dampak negatif, seperti penurunan partisipasi atau potensi voter fatigue, maka perlu ada evaluasi ulang.

Beberapa pakar menyarankan pendekatan hibrida, di mana pemilu serentak tetap dilakukan, tetapi dengan jeda waktu yang lebih panjang antara pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada.

Hal ini dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk memproses hasil pemilu sebelumnya dan mengurangi beban psikologis yang mungkin timbul akibat terlalu sering terpapar kampanye politik.

Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat perlu diperkuat, terutama untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi dalam pilkada.

Pandangan lain mengusulkan inovasi dalam penyelenggaraan pemilu untuk mengatasi kelelahan pemilih.

Digitalisasi proses pemilu, misalnya, dapat menjadi salah satu solusi. Dengan memperkenalkan e-voting atau sistem hibrida antara manual dan digital, masyarakat dapat merasakan kemudahan dalam menyalurkan hak suaranya.

Hanya saja, implementasi solusi ini membutuhkan infrastruktur yang memadai dan jaminan keamanan data.

Selain teknis pelaksanaan, peningkatan kualitas kandidat juga menjadi kunci penting. Masyarakat akan lebih antusias berpartisipasi jika mereka merasa kandidat yang maju benar-benar mewakili kepentingan mereka.

Partai politik harus mampu menciptakan mekanisme seleksi yang transparan dan inklusif, sehingga melahirkan calon pemimpin yang berintegritas dan kompeten.

Sebab, pada akhirnya, pemilih cenderung jenuh, bukan hanya karena terlalu sering memilih, tetapi juga karena merasa pilihan yang ada tidak membawa perubahan signifikan.

Keharusan untuk memisahkan pemilu serentak masih membutuhkan kajian mendalam. Meskipun demikian, apa pun langkah yang diambil, satu hal yang jelas adalah, demokrasi harus terus diperkuat.

Demokrasi bukan hanya tentang angka partisipasi, tetapi juga tentang kualitas hubungan antara pemilih dan pemimpin yang dipilih.

Faktanya yang harus disyukuri adalah bahwa masyarakat Indonesia disadari kian dewasa dalam berdemokrasi. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Dr Trubus Rahardiansyah menilai masyarakat sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi, sehingga tidak lagi terlalu reaktif dalam merespons penyelenggaraan pilkada. Terlebih dalam pilkada serentak, fokus masyarakat terpecah di daerahnya masing-masing.

Meski begitu, tipis anggapan tentang kedewasaan dalam berdemokrasi dengan voter fatigue. Memang kerap kali orang dewasa lebih rendah tingkat ketertarikannya pada sesuatu yang sudah pernah mereka alami sebelumnya, termasuk pemilu, namun voter fatigue jelas merupakan fenomena lain yang berbeda, yang benar-benar bisa menjadi ancaman nyata dalam kehidupan berdemokrasi.

Sebab dari kelelahan bisa mengarah pada ignorant, kemudian apatis. Jika hal itu terjadi, maka langkah evaluasi harus segera dilakukan, baik melalui perbaikan sistem, penguatan kapasitas penyelenggara, maupun pendidikan politik kepada masyarakat.

Indonesia memiliki potensi besar untuk terus menjadi negara demokrasi yang stabil, namun potensi ini hanya akan terwujud jika setiap elemen dalam sistem pemilu, dari jadwal, kandidat, hingga penyelenggara, dapat memenuhi harapan masyarakat.

Voter fatigue bukan sekadar tanda kejenuhan. Ini adalah sinyal bahwa demokrasi memerlukan perbaikan yang lebih inklusif, responsif, dan berorientasi pada hasil yang nyata.

Sumber : Antara