Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom senior sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan dugaannya mengapa pemerintah terkesan ngotot ingin menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di tengah tekanan daya beli masyarakat.
Anny menduga pemerintah butuh tambahan penerimaan untuk membiayai program-program pemerintah baru.
“Kita memang tahu pemerintah sekarang butuh kenaikan penerimaan negara, ada program-program baru yang harus didanai,” kata Anny dalam program Tax Time di CNBC Indonesia, Senin, (25/11/2024).
Selain membiayai program, Anny menduga pemerintah butuh banyak uang untuk kebutuhan lainnya, yakni membayar utang yang jatuh tempo dan bunga utang. Dia mengatakan seperti diketahui, pemerintah akan menghadapi utang jatuh tempo dan bunga utang yang menumpuk pada 2025 dan 2026.
“Kita pada 2025 dan 2026 harus membayar utang dan bunga utang dalam jumlah besar, sementara APBN yang kita memiliki keterbatasan.. jadi itu urgensi kenapa PPN menjadi 12%,” kata dia.
Meski mengetahui kebutuhan pemerintah, Anny menilai kenaikan PPN menjadi 12% dirasa kurang tepat dan akan sangat menekan daya beli masyarakat. Terlebih, kata dia, masyarakat juga akan menghadapi berbagai kenaikan iuran, seperti BPJS Kesehatan, iuran perumahan hingga rencana peralihan subsidi BBM.
“Jadi isu-isu itu yang membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan daya beli, utamanya masyarakat kelas menengah kita,” kata dia.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga mengkritik keras rencana pemerintah yang bersikeras menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 di tengah tertekannya daya beli masyarakat.
“Kalau PPN naik 12%, maka kemungkinan besar konsumsi rumah tangga turun 0,26%. Maka, kalau kuartal III-2024 tumbuh 4,91%, kurangi saja minus 0,26%,” kata Eko.
Eko memprediksi kebijakan pemerintah menaikan PPN ini akan berimplikasi ke pertumbuhan ekonomi yang akan terus bergerak di bawah 5%. Sebab, kata dia, kenaikan PPN akan menekan konsumsi rumah tangga yang mendominasi struktur PDB dengan porsinya mencapai 53,08%.
“Itu signifikan ke pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga bisa turun 0,17%. Jadi ibaratnya kalau nekat naikkan PPN 12%, kita mulai bicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5%,” kata dia.
(haa/haa)