Jakarta, Beritasatu.com – Komisi XI DPR menyatakan, kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 nanti, harus diimbangi dengan kompensasi. Komisi XI mengusulkan agar pemerintah bisa memberikan pembebasan (exemption) terhadap produk-produk yang dikenakan PPN.
“Jadi impact (kenaikan PPN) ke masyarakat itu masih bisa kita kelola. Misalnya, menambah jenis barang (yang dikecualikan), yakni makanan olahan yang sekarang sudah jadi kebutuhan pokok. Jadi UU tetap berjalan, lalu ada kategorisasi exemption yang diperluas tanpa melanggar UU,” ucap Ketua Komisi XI DPR Misbakhun saat ditemui di Graha Bhakti Budaya, Jakarta pada Sabtu (23/11/2024).
Kenaikan tarif PPN 12 persen dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP Pasal 7 disebutkan, tarif PPN yaitu sebesar 11 persen mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. Sedangkan tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Namun, apabila ditelisik lebih dalam, pada regulasi itu disebutkan bahwa barang atau jasa yang yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah barang kebutuhan pokok, berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Demikian pula pembebasan pada bidang jasa yang meliputi, jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan.
Menurut Misbakhun, ketentuan pengecualian ini harus diperluas dengan lebih speisifik. Langkah ini akan menjadi titik temu antara keinginan pemerintah menaikkan tarif PPN, tetapi pada saat yang sama juga tidak memberatkan konsumsi masyarakat. Namun, dia menyerahkan keputusan terkait penerapan kenaikan tarif PPN ini ke tangan pemerintah.
“Karena pemerintah masih menimbang opsinya, mau tetap dinaikkan atau apa. Jadi kalau memang tetap dinaikkan, kami minta pemerintah untuk lebih punya wisdom. Nah peluang-peluang itu di exemption,” kata Misbakhun.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kebijakan kenaikan PPN saat ini tidak menginsentifkan pertumbuhan sektor ekonomi formal. Sebaliknya, kenaikan PPN jadi 12 persen ini, justru akan rentan dan menambah skala sektor ekonomi informal yang secara struktural menciptakan beban pertumbuhan ekonomi jangka menengah-panjang.
Pemerintah akan kesulitan untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) dan kesulitan peningkatan kesejahteraan pekerja di sektor informal serta merugikan konsumen.
“Oleh karena itu, kami menghimbau agar pemerintah mengkaji lagi kenaikan PPN menjadi 12 persen agar tidak membebani masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha sektor formal. Idealnya, kenaikan PPN terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sedang tinggi sehingga tidak menjadi beban terhadap potensi pertumbuhan ekonomi maupun terhadap kesejahteraan masyarakat,” tutur dia.