Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai apabila pemerintah menjalankan program tax amnesty jilid III, maka masyarakat akan semakin apatis dan cenderung enggan untuk menjadi wajib pajak yang patuh. Pasalnya pemerintah sebelumnya menyebutkan bahwa tax amnesty kedua akan menjadi yang terakhir.
“Kalau wajib pajak berpikir akan ada tax amnesty yang selanjutnya, otomatis dia akan berpikir, ‘percuma patuh, buat apa? Toh pada akhirnya ada tax amnesty’, yang pada akhirnya mendorong orang untuk tidak patuh (membayar pajak). Pastinya distrust ke pemerintah karena tidak konsisten dengan ucapannya,” kata Fajry, Selasa (19/11/2024).
Fajry mempertanyakan tujuan pemerintah melanjutkan program tax amnesty jilid III, mengingat banyak konglomerat sudah berpartisipasi dalam program tax amnesty jilid I dan II. Hal ini tercermin dari penurunan penerimaan dari tax amnesty pada 2016-2017 ke program pengungkapan sukarela pada 2022.
Apabila pemerintah tetap melaksanakan tax amnesty jilid III, Fajry memperkirakan hasilnya akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan program pengungkapan sukarela pada 2022.
“Apabila benar ada tax amnesty lagi, itu justru langkah mundur,” tambahnya.
Terlebih lagi, pada saat yang sama, pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Kenaikan PPN ini diperkirakan akan menekan daya beli masyarakat.
“Saya yakin, rakyat pasti akan murka. Rencana tax amnesty jilid III wajib dibatalkan. Risikonya besar, Bisa berdampak negatif bagi kepatuhan (membayar pajak),” tutur Fajry.