Kasus Ivan Sugianto di Surabaya, dari Suruh Siswa Menggonggong hingga Terindikasi Terlibat Judi “Online”
Editor
KOMPAS.com
–
Ivan Sugianto
, pengusaha yang ditahan karena menyuruh seorang siswa SMA untuk sujud dan menggonggong, kini juga terindikasi terlibat judi
online
sehingga rekeningnya diblokir oleh Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pengamat kepolisian dan hukum pidana mengatakan polisi wajib menyelidiki temuan PPATK terkait pengusaha asal
Surabaya
tersebut.
Pasalnya, menurut pengamat, PPATK tak mungkin memblokir rekening seseorang tanpa ada indikasi kuat yang mengarah pada pencucian uang.
“Jangan sampai informasi pelanggaran hukum lainnya ini malah menguap dan tidak dituntaskan karena itu akan jadi blunder, polisi akan dianggap melindungi Ivan,” kata pengamat kepolisian dari
Institute for Security and Strategic Studies
(ISESS) Bambang Rukminto pada Minggu (17/11).
Namun, Polrestabes Surabaya dan Polda Jawa Timur hingga Minggu (17/11P) menyatakan bahwa mereka sejauh ini hanya “fokus” menangani kasus dugaan intimidasi terhadap Ivan.
Sosok Ivan menjadi sorotan warganet setelah videonya saat membentak siswa SMA bernama EN viral di media sosial.
Ivan disebut tak terima dengan lelucon “rambut seperti pudel” yang diutarakan oleh EN, siswa SMA Kristen Gloria 2, kepada anaknya yang merupakan siswa SMA Cita Hati Surabaya.
Dia lalu mendatangi sekolah EN, lalu menyuruh EN meminta maaf dengan cara sujud dan menggonggong. Cara ini, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “arogan” serta “merendahkan martabat anak”.
Kasus itu kemudian dilaporkan ke polisi oleh SMA Kristen Gloria 2. Polisi lalu menangkap Ivan pada Kamis (14/11) di Bandara Juanda Surabaya.
Dia dijerat dengan pasal berlapis, yakni pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara.
Ivan sempat menyampaikan permintaan maaf atas tindakannya melalui pesan video. Saat itu, dia menyatakan akan menyerahkan diri ke Polrestabes Surabaya.
Namun setelah itu, belum ada respons dari pihak Ivan termasuk soal temuan PPATK.
Berikut fakta-fakta yang terungkap sejauh ini terkait kasus yang menjerat Ivan.
Penelusuran ini masih berkembang dan PPATK juga masih menghitung nominalnya.
“Yang kami bekukan rekening IS untuk Valhalla Club dan yang terkaitnya,” kata Ivan. Valhalla yang dia maksud adalah sebuah klub malam di Surabaya.
Saat menelusuri aliran dananya, Ivan mengatakan tim analis PPATK menemukan sejumlah transaksi terkait dengan judi
online.
Pada Minggu (17/11), PPATK menyatakan belum ada perkembangan terbaru yang bisa disampaikan soal temuan ini.
Namun Humas PPATK, Natsir Kongah, mengatakan analisis itu mereka lakukan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan.
Hasil analisis, kata dia, biasanya juga mereka serahkan kepada penegak hukum.
Soal temuan ini, pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan ketika rekening seseorang dibekukan oleh PPATK berarti ada sejumlah transaksi yang terjadi secara berkelanjutan dan mengarah pada dugaan pencucian uang.
“Itu tidak hanya pada satu momen. Karena itu, orang ini dijerat TPPU [tindak pidana pencucian uang,” kata Fickar.
“Artinya kalau dia punya usaha, di balik kegiatan usahanya itu ada penyamaran hasil kejahatan, hasil yang ilegal menjadi legal,” sambungnya.
Bambang Rukminto dari ISESS juga berpendapat senada. Menurutnya, PPATK tak mungkin memblokir rekening seseorang tanpa dasar yang kuat.
“PPATK bisa disomasi kalau itu tidak benar, jadi pasti tidak sembarangan memblokir rekening seseorang, pasti ada aliran dana yang dicurigai,” kata Bambang.
Menurutnya, polisi semestinya bisa proaktif mengusut temuan PPATK itu tanpa perlu ada yang melaporkan.
“Polisi bisa membuat laporan model A berdasarkan temuan PPATK, enggak perlu menunggu ada pelapor,” kata Bambang.
“Tinggal bagaimana komitmen kepolisian untuk menindak lanjuti dalam penyelidikan juga membukanya secara transparan.”
Namun sejauh ini, Polrestabes Surabaya menyatakan pihaknya “tidak menangani” temuan PPATK itu.
“Yang kami tangani hanya masalah laporan dari SMA Gloria, kasus untuk anak itu. Kalau yang lain-lain, sampai sekarang belum ada,” kata Kepala Seksi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi, kepada wartawan Mustofa El Abdy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Foto-foto itu kemudian memicu spekulasi warganet yang mengaitkan tindakan Ivan dengan relasinya Ivan dengan aparat.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Harianto, merespons spekulasi itu dan mengatakan bahwa perwira menengah di dalam foto tersebut “bukan bekingan atau rekan bisnis” Ivan.
“Foto tersebut diambil 18 September 2024. Ivan S dan pamen TNI sudah bersahabat sejak lama,” kata Hariyanto melalui keterangan tertulis.
Hariyanto mengatakan, tindakan Ivan tidak berkaitan dengan perwira TNI yang berfoto bersamanya.
“Mereka berteman seperti layaknya sahabat biasa dan tidak ada hubungan bisnis, apalagi sampai menjadi beking,” ujar Hariyanto.
Sementara itu, polisi merespons foto tersebut dengan menyatakan bahwa mereka “fokus pada penanganan kasus”.
“Kami fokus ke penanganan perkaranya saja, soal yang lain-lain itu enggak. Pokoknya masyarakat boleh percaya kepada polisi. Dengan ditahannya Ivan, itu kan berarti menyatakan bahwa polisi itu serius untuk penanganan perkara ini,” ujar AKP Rina Shanty Dewi.
Kuasa hukum EN, Reifon Cristabella, mengatakan bahwa tindakan dugaan intimidasi terhadap kliennya pertama kali terjadi di lingkungan sekolah pada 21 Oktober 2024.
“Tidak ada yang melerai kecuali security dan ayah korban,” kata Bella.
Namun, ketika dilerai, Ivan tidak memberi izin. Tak lama setelahnya, EN dipindahkan ke satu ruangan di dalam sekolah.
Pada saat dipindahkan, sangat disayangkan, kejadian yang saya sebutkan di depan, berlutut dan menggonggong terulang kembali,” jelas Bella.
Bella juga mengeklaim “tidak pernah terjadi perkelahian antara EN dan anak Ivan.
Dia menyebut bahwa kedua anak itu baru mengenal dan bertatap muka ketika Ivan mendatangi korban dan keluarganya ke sekolah. Menurut Bella, “tidak pernah ada aksi bullying atau perkelahian”.
“Kami justru mempertanyakan, orang-orang dewasa yang datang itu siapa dan kapasitasnya sebagai apa dan untuk apa datang di situ,” tutur Bella.
Pihak sekolah memutuskan melaporkan kejadian itu ke polisi lantaran membuat para orang tua siswa merasa resah dan terintimidasi.
Korban dan keluarganya pun disebut sempat trauma dan masih butuh waktu untuk memulihkan diri atas apa yang terjadi.
Ketua KPAI, Ai Maryati, mengecam tindakan Ivan karena dianggap main hakim sendiri dan telah “merendahkan martabat anak”.
Dia mengingatkan orang tua untuk bisa menahan diri saat menghadapi konflik antar-sesama anak.
“Orang tua itu kan orang dewasa, jadi perilaku yang merendahkan harkat dan martabat anak itu tidak boleh terjadi. Itu yang kami sesalkan. Kami melihatnya sebagai arogansi, dan ada relasi kuasa yang sangat timpang,” kata Ai ketika dihubungi.
Selain itu, Ai juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik antar-anak semestinya dilakukan secara hati-hati dan mengutamakan kepentingan terbaik anak.
Penyelesaian dengan cara yang dilakukan Ivan, menurutnya, hanya akan membuat anak trauma.
Ai mengatakan, KPAI akan memastikan korban dan keluarganya mendapat pendampingan dan pemulihan.
Kembali ke kasus Ivan, Bambang Rukminto mengatakan besar kemungkinan kasus ini akan bergulir panjang dan menguak kasus hukum lainnya.
Sebelumnya pernah terjadi kasus dengan pola serupa pada Rafael Alun Sambodo, mantan pegawai Pajak yang divonis korupsi setelah tindakan arogan putranya menganiaya seorang anak.
Sementara itu, Fickar mengatakan, mengemukanya dugaan lain terkait Ivan adalah “berkah akibat viral”.
“Satu kasus membuka siapa sebenarnya orang ini. Mungkin karena merasa banyak kenalannya, dia merasa arogan dan merasa posisinya di atas hukum. Jadi ketika dia membela anaknya, dia lakukan dengan cara-cara yang arogan juga,” kata Fickar.
Wartawan di Surabaya, Jawa Timur, Mustofa El Abdy berkontribusi dalam liputan ini.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.