Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Ekonom Ini Ingatkan Ada Ancaman Perang Komoditas di Depan Mata

Ekonom Ini Ingatkan Ada Ancaman Perang Komoditas di Depan Mata

Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom Senior INDEF, yang juga Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menegaskan, Indonesia harus berani menghadapi potensi “perang komoditas” yang muncul di tengah upaya mewujudkan swasembada pangan dan energi. Ia pun mendorong pemerintah untuk menggunakan strategi diplomasi yang cerdas, khususnya dalam menavigasi tekanan internasional terhadap komoditas strategis seperti kelapa sawit.

“Hadapi! Jangan hindari,” kata Bustanul saat ditemui usai Seminar Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Jakarta, Senin (18/11/2024).

Bustanul menekankan, menghindari konflik tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, Indonesia harus siap menghadapi tekanan internasional, seperti hal-nya yang terjadi pada komoditas sawit. Salah satu contoh yang ia anggap berhasil adalah bagaimana pemerintah memainkan diplomasi detail saat menghadapi tuduhan Uni Eropa yang melabeli sawit Indonesia sebagai produk berisiko tinggi (high risk).

“Main gertak dan tarik ulur itu hal biasa. Ketika Uni Eropa keras, kita balik tanya ‘apa kriterianya?’ Semua wilayah di Indonesia dianggap berisiko tinggi, itu kan nggak fair. Nah, mereka akhirnya bingung jawab. Kita hadapinya main di detail,” terang dia.

Selain itu, dia juga menyebut pentingnya sinkronisasi aturan dalam menghadapi perang komoditas. Indonesia telah memiliki standar keberlanjutan sawit melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Untuk memperkuat posisi di pasar global, pemerintah perlu menyelaraskan ISPO dengan standar yang diakui internasional, seperti yang diterapkan Uni Eropa.

“Kita konvergensi aturan di ISPO juga dengan aturannya mereka. Tentu saja menggunakan yang disebut joint task force. Ini tugas Joint task force yang harus kerja lebih keras untuk itu,” ujarnya.

Dalam konteks diplomasi komoditas, Bustanul menyoroti perbedaan pendekatan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Ia mencatat, Amerika cenderung menggunakan tekanan langsung melalui lobi politik. Sementara itu, katanya, saat ini level Indonesia masih belum seperti levelnya Amerika. Namun, imbuh dia, Indonesia masih tetap bisa memainkan peran strategis dengan memperkuat diplomasi dan negosiasi teknis.

“Kalau kita menghindar, main petak umpet, bukan seperti itu. Level Indonesia mungkin tidak seperti level Amerika, karena Amerika tekan, (sementara) kita bisa protes. Beda tekanan dan protes,” pungkasnya.

(dce)