Jakarta, CNBC Indonesia – Untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas sawit nasional, Plt. Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengusulkan, Indonesia belajar dari Filipina. Padahal, RI adalah produsen sawit nomor 1 di dunia dengan produksi tahun 2023 tembus 54 juta ton. Sementara, produksi minyak sawit Filipina hanya sekitar 100 ribu ton per tahun (proyeksi tahun 2023/2024, mengutip USDA).
Menurut Sahat, penggunaan teknologi satelit dan dukungan ahli ‘dokter perkebunan’ bisa menjadi langkah konkret dalam mewujudkan sawit rakyat yang lebih produktif.
Sahat menyoroti penerapan teknologi canggih, yakni pemanfaatan teknologi satelit untuk memantau kondisi tanaman secara real-time yang sudah diterapkan perkebunan pisang di Filipina. Katanya, luas perkebunan pisang yang hanya seluas 400 ribu hektare itu sudah terpantau secara langsung, sedangkan luas perkebunan Indonesia yang hampir mencapai 18 juta hektare belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi serupa.
“Saya kaget, di Filipina cuma 400 ribu hektare kebun pisang pakai satelit. Dia buktiin (membantu tingkatkan produktivitas secara signifikan). Loh kok Indonesia punya 18 juta hektare (kebun sawit) nggak perlu satelit?” kata Sahat dalam Seminar Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Sahat mengaku sempat berbincang dengan salah seorang profesor dari Hiroshima, Jepang. Katanya, profesor itu mempertanyakan Indonesia yang masih belum memanfaatkan teknologi satelit untuk memantau secara real-time perkebunan sawit yang begitu luasnya. Profesor asal Jepang itu pun menyarankan agar perkebunan sawit Indonesia mulai memanfaatkan teknologi sawit.
Dia mengutip pernyataan si Profesor yang menyarankan penggunaan satelit, karena wilayah Indonesia terbagi atas 3 zona waktu. Sehingga, lanjutnya, jika hanya menggunakan drone tidak akan efektif.
Padahal, lanjut Sahat, saat ini Indonesia sudah memiliki Palapa, jaringan satelit yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian. Namun, hingga kini potensi tersebut belum dioptimalkan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit rakyat.
“Kita juga sudah punya Palapa, saya kira tinggal dicantolkan saja micro satelit-nya,” tukas dia.
Selain teknologi, Sahat juga mengusulkan solusi lain untuk meningkatkan produktivitas sawit rakyat, yaitu dengan menghadirkan ‘dokter kesehatan perkebunan’. Di mana dokter perkebunan itu akan menganalisis secara menyeluruh terhadap kondisi perkebunan sawit.
Dia mengusulkan, perlunya dibagi tiga kategori tingkat kesehatan sawit. Stadium satu, perkebunan yang membutuhkan perawatan ringan atau pengobatan jalan. Stadium dua, perkebunan yang memerlukan perawatan intensif (intensive curing). Stadium tiga, kebun sawit yang harus ditebang total, karena dikhawatirkan infeksi penyakit atau virusnya berpotensi menyebar luas.
“Jika ada kebun yang sudah stadium tiga, tebang saja semua, karena virusnya akan ke mana-mana. Tapi dibiayai oleh pemerintah, supaya mereka bisa hidup,” pungkasnya.
(dce)