Liputan6.com, Jakarta – Di tengah padatnya kota Yogyakarta, tersembunyi sebuah warisan arsitektur yang menyimpan kisah keagungan masa lalu, Taman Air Warungboto. Melansir dari jogjaprov.go.id, situs bersejarah seluas 9000 meter persegi ini merupakan bukti kejayaan teknologi pengelolaan air dan kemewahan arsitektur Keraton Yogyakarta di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II.
1. Keunikan Arsitektur Air
Warungboto tidak sekadar taman biasa. Kompleka ini merupakan masterpiece arsitektur air yang menggabungkan fungsi praktis dan estetika.
Sistem pengairan yang dibangun menunjukkan kepiawaian para arsitek masa lalu dalam mengelola aliran air. Umbul atau mata air yang dulunya memancarkan air jernih ke kolam-kolam menunjukkan pemahaman mendalam tentang hidrodinamika, jauh sebelum teknologi modern dikenal.
2. Pesanggrahan Raja
Sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan, Warungboto dirancang dengan memadukan konsep taman air dan tempat berteduh. Area ini menjadi saksi bagaimana keluarga bangsawan Keraton Yogyakarta memanfaatkan keindahan alam dan arsitektur untuk menciptakan ruang relaksasi yang sempurna. Pemilihan lokasi yang berdekatan dengan mata air alami menunjukkan kecermatan dalam perencanaan tata ruang kota masa itu.
3. Warisan Teknologi
Meski kini mata airnya telah kering, sisa-sisa bangunan umbul masih berdiri tegak, menjadi bukti kejeniusan teknologi masa lalu. Struktur bangunan yang masih bertahan hingga kini memperlihatkan kualitas konstruksi yang mumpuni, menggunakan teknik-teknik yang bahkan relevan untuk dipelajari di era modern.
4. Potensi Pembelajaran
Warungboto bukan sekadar situs bersejarah, tetapi juga laboratorium hidup yang menawarkan pelajaran berharga tentang teknologi pengelolaan air tradisional, arsitektur berkelanjutan yang ramah lingkungan, harmonisasi antara kebutuhan manusia dan alam, dan sejarah kehidupan keluarga kerajaan Yogyakarta.
Meski zaman telah berubah dan air tidak lagi mengalir deras seperti dulu, Taman Air Warungboto tetap menjadi bukti nyata kejayaan arsitektur Jawa. Situs ini berdiri sebagai pengingat bahwa nenek moyang kita telah memiliki pemahaman mendalam tentang pembangunan berkelanjutan, jauh sebelum istilah itu populer di era modern.
Penulis: Ade Yofi Faidzun