Advertorial Kemenkop UKM
Jakarta, Beritasatu.com – Pada sidang kabinet paripurna pertama, Presiden Prabowo menekankan pentingnya swasembada pangan untuk menjamin keamanan pangan dalam negeri serta hilirisasi sebagai kunci kemakmuran rakyat. Seperti diketahui, hilirisasi menjadi bagian dari Asta Cita yang tercantum pada misi ke-5, yaitu melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Lalu mengapa hilirisasi usaha pertanian penting dilakukan? Perlu diingat bahwa struktur ekonomi negara kita masih didominasi oleh pelaku usaha skala mikro yang sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2023, jumlah unit usaha pertanian mencapai 29 juta unit, hampir setengah dari jumlah pelaku usaha yang ada di Indonesia. Namun, pernahkah kita mendengar ada unit usaha pertanian rakyat dengan jenama (brand) produk akhir yang mendunia, seperti Sunkist, Campina, atau Arla. Apabila sejauh mata memandang, pasar produk pertanian masih dikuasai oleh berbagai jenama luar atau industri besar, maka sudah selayaknya jika hilirisasi usaha di sektor pertanian perlu diprioritaskan.
Pada pemerintahan sebelumnya, terdapat major project Korporasi Petani dan Nelayan. Program yang dirancang sebagai pengejawantahan arahan presiden kala itu untuk mengubah paradigma pembangunan sektor pertanian dari kegiatan budidaya (on-farm) diintegrasikan dengan kegiatan pra-dan-pasca-budidaya (off-farm). Intinya, petani didorong untuk mengelola usaha pertanian terintegrasi dari proses hulu hingga hilir dalam skala keekonomian. Apabila dicermati, program ini menjadi salah satu corong pelaksanaan hilirisasi usaha pertanian rakyat. Berbagai bentuk model bisnis pernah diujicobakan oleh berbagai kementerian/lembaga dan mitra terkait, mulai dari konsep Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) di Sukabumi, konsep kemitraan BUMDes dengan BUMN, hingga konsep korporatisasi petani melalui entitas koperasi. Namun tampaknya, hingga menjelang akhir periode tahun ini, belum ada satu pun model bisnis korporasi petani yang menjadi pakem.
Analisa Kelayakan Usaha
Kunci membangun hilirisasi usaha pertanian adalah bagaimana upaya kita mengubah mindset petani yang terbiasa tanam, panen, jual, tanpa menikmati nilai tambah dari komoditas yang diproduksinya. Petani sebagian besar merupakan bagian dari pelaku usaha mikro dan kecil, model pembinaannya harus dilakukan secara holistik. Petani adalah pengusaha, maka hal yang paling penting adalah mengajarkan mereka cara mengelola bisnis, jangan terus dijejali dengan pelatihan vocational, seperti cara budidaya yang baik (good agricultural practices) atau cara pengolahan yang baik (good manufacturing practices), karena dalam praktiknya mereka lebih berpengalaman.
Membangun industri pertanian rakyat memang tidak mudah. Namun bukan tidak mungkin dilakukan jika manajemen bisnisnya dikelola secara profesional. Seringkali kita menyaksikan di lapangan banyak unit usaha penggilingan padi yang tidak mampu konsisten beroperasi sesuai kapasitas produksi karena kekurangan pasokan gabah, atau unit usaha pengolahan kopi yang beroperasi hanya pada saat masa panen, dan masih banyak unit usaha pengolahan hasil pertanian lain yang idle capacity karena pendapatan usahanya tidak mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan. Oleh karena itu, penting memperkenalkan rencana bisnis sedari awal. Latih dan dampingi petani dalam menyusun analisa kelayakan usaha. Apabila usaha pengolahan tersebut layak (feasible), mampu menghasilkan keuntungan dan tercapai skala keekonomiannya, maka rencana usaha tersebut layak diimplementasikan. Sebaliknya, apabila cenderung tidak menguntungkan, sebaiknya urung diusahakan, diarahkan untuk beralih ke diversifikasi produk pertanian lain yang lebih menjanjikan.
Adopsi Model bisnis
Konsep Korporatisasi Petani melalui koperasi bukanlah barang baru. Mengagregasi petani-petani kecil perseorangan untuk mengembangkan usaha pengolahannya melalui wadah koperasi sudah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah banyak terbentuk koperasi produsen di sektor pertanian/perkebunan/kehutanan, namun mayoritas tidak mampu untuk berkembang. Hingga kini, sebagian besar koperasi tersebut belum mampu naik kelas. Berdasarkan database Kementerian Koperasi dan UKM per 31 Desember 2023 tercatat sebanyak 12.054 koperasi yang bergerak di sektor usaha pertanian, kehutanan dan perikanan dengan total volume usaha (pendapatan per tahun) mencapai 8,3 triliun rupiah. Artinya, rata-rata volume usahanya hanya sebesar 694 juta rupiah per koperasi atau masih dalam skala usaha mikro. Oleh karena itu, perlu terobosan model bisnis baru untuk akselerasi hilirisasi usaha petani. Jangan-jangan model yang selama ini dikembangkan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Dunia sudah memperkenalkan model New Generation Cooperative (NGC) yang mulai populer pada tahun 1990an. Model ini sering disebut oleh para pemerhati koperasi sebagai bentuk hibrida antara koperasi tradisional dan perusahaan korporasi. NGC menuntut petani anggota untuk berinvestasi dalam kegiatan pengolahan dalam bentuk share (bagian kepemilikan dalam bentuk ekuitas) kepemilikan pabrik disertai hak dan kewajiban untuk memasok bahan baku hasil produksi. Kesuksesan model bisnis NGC layak mendapat pengakuan sebagai model masa depan industri pertanian. Terbukti, dari daftar 300 koperasi besar dunia yang dirilis dalam World Cooperative Monitor Report tahun 2023, koperasi-koperasi pertanian yang ikut bertengger kebanyakan adalah koperasi yang menerapkan model bisnis NGC seperti FrieslandCampina dan Fonterra. Melihat fakta tersebut, agak heran rasanya jika model bisnis NGC tidak diadopsi dan diujicobakan sebagai model korporasi petani di Indonesia.
Skim Pembiayaan Investasi
Membangun pabrik pengolahan hasil pertanian dalam skala keekonomian membutuhkan investasi yang sangat besar. Mungkin akan berat jika sepenuhnya mengandalkan pemupukan investasi dari petani anggota. Disinilah semestinya pemerintah berperan untuk dapat menyediakan skim pembiayaan khusus investasi yang tepat bagi industri pertanian rintisan atau industri yang baru dibangun oleh petani. Memang sudah banyak alternatif skim pembiayaan investasi yang tersedia saat ini, namun terlalu kaku dengan agunan karena prinsip kehati-hatian. Seharusnya rencana bisnis petani itulah yang jadi jaminan. Oleh karena itu, perlu ada lembaga khusus yang ditunjuk untuk menjalankan skema pembiayaan seperti itu.
Dengan langkah-langkah di atas, hilirisasi usaha pertanian berbasis korporasi milik petani bukan tidak mungkin dapat terwujud. Hanya tinggal willingness para pemangku kepentingan untuk lebih membuka diri mencoba model-model yang telah terbukti kesuksesannya untuk dapat diimplementasikan di Indonesia, tentunya didukung dengan kebijakan afirmasi yang tepat. (Adv)
*Penulis merupakan PNS pada Kementerian Koperasi dan UKM