Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia masih menggantungkan sumber energi listriknya pada batu bara. Padahal, Indonesia juga memiliki pembangkit yang ‘setara’ dengan batu bara sebagai pembangkit yang proven atau baseload, yaitu panas bumi.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi mengatakan satu-satunya sumber EBT yang saat ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk bisa menggantikan peran batu bara adalah sumber energi panas bumi.
“Geothermal adalah satu-satunya pada saat ini renewable energy yang proven baseload. Satu-satunya renewable proven baseload Kalau kita mau sampai (target) net zero emission 2060, harus mulai dari sekarang,” ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, dikutip Senin (11/11/2024).
Bukan tanpa alasan, Indonesia dinilai menjadi salah satu negara terbesar yang memiliki sumber panas bumi dunia. Tidak main-main, Indonesia memiliki 40% sumber energi panas bumi yang ada di dunia.
“Indonesia adalah negara volcanic, negara gunung api. Karena itu Indonesia adalah negara geothermal. 40% dari reserve di dunia ada di Indonesia. Sekitar 24 gigawatt reserve ada di Indonesia,” ujarnya.
Julfi memandang, panas bumi bisa mendukung program swasembada energi pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang berlimpah
Nah, untuk bisa mencapai kemandirian energi, Indonesia harus menggantikan sumber energi fosil termasuk batu bara ke sumber EBT. “Kalau kita mau energy security, kita harus fossil free, perlu baseload dan ini geothermal. Jadi pengembangan geothermal, mengakselerasi geothermal sangat sinergi dengan fokusnya dari pemerintah pada saat ini,” tambahnya.
Energi panas bumi menurut Julfi, bukan hanya bisa mendorong kemandirian energi dalam negeri, namun sekaligus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan mencapai 8%.
Dengan begitu, Julfi optimis Indonesia bisa bersaing dalam menghasilkan energi bersih dengan negara lain melalui pemanfaatan panas bumi di dalam negeri.
“Kita lihat global in 10 years green manufacturing itu akan ada di supply chain green manufacturing. Akan ada di Eropa di Middle East. Kalau kita tidak bisa memproduksi green manufacturing, itu kita akan bisa berat bersaing. Kira-kira seperti itu,” tandasnya.
(pgr/pgr)