Buntut Pembatasan Kuota, Nasib Peternak Sapi Perah Boyolali di Ujung Tanduk
Editor
KOMPAS.com
– Kebijakan pembatasan kuota dari Industri Pengolahan Susu (IPS) membuat nasib peternak sapi perah di
Boyolali
, Jawa Tengah, semakin tak menentu.
Hal itu memicu ratusan peternak menggelar aksi protes dengan aksi mandi susu dan membagikan 1.000 liter susu secara gratis kepada masyarakat di sekitar Monumen Susu Tumpah di Boyolali, Sabtu (9/11/2024).
Aksi ini menarik perhatian warga yang langsung menghabiskan susu yang dibagikan dalam waktu singkat.
“Susu Nasipe Piye”, “Pikir Peternak Sapi Perah”, “Sapiku Utangan, Pak” dan berbagai tulisan protes lainnya.
Koordinator aksi, Sriyono Bonggol mengatakan, pembatasan kuota susu itu membuat susu para peternak di wilayah Boyolali banyak yang tidak terserap pabrik. Hal itu membuat banyak susu yang terbuang.
“Kami mewakili peternak yang jumlahnya puluhan ribu di wilayah Boyolali yang saat ini sedang menjerit karena kondisi perindustrian susu di Indonesia yang membatasi jumlah kuota masuk produk lokal kita,” katanya.
“Akhirnya berimbas pada banyaknya susu yang menumpuk di UD maupun koperasi yang tidak terserap oleh pabrik mengakibatkan susu banyak yang terbuang,” tegas Sriyono dalam aksi di Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Boyolali, Lusia Dyah Suciati, menjelaskan, produksi susu harian di wilayah Boyolali mencapai 140.000 liter, namun hanya 110.000 liter yang terserap oleh IPS karena kuota yang ditetapkan.
Menurut Lusia berdasar data yang diperolehnya, ada sekitar 30.000 liter susu per hari yang mengendap dan tak dapat dijual.
Para peternak pun menduga pembatasan kuota ini disebabkan oleh tingginya volume impor susu yang masuk ke Indonesia, yang memenuhi 80% kebutuhan susu nasional, sementara produksi lokal hanya menyuplai 20%.
“Dari beberapa pengepul susu total 30.000 liter yang tidak terserap. Jadi masing-masing pengepul sekian (yang tidak terserap), pengepul ini sekian. Jadi kalau dijumlah kurang lebihnya 30.000 liter susu yang tidak terserap (IPS),” kata Lusia.
Lalu terkait aksi protes para peternak, Lusia menyarankan agar susu tersebut tidak dibuang sembarang tempat. Karena dapat menimbulkan pencemaran.
“Jadi kami menyarankan untuk ini (susu) dibuangnya tidak berdampak yang lain. Kalau dibuang di sembarang nanti terjadi pencemaran,” ujarnya.
Sebelumnya, salah satu usaha pengepul utama di Boyolali yang menampung sekitar 20.000 liter susu segar setiap harinya, Usaha Dagang (UD) Pramono, juga terancam gulung tikar karena menunggak pajak Rp 670 juta.
Untuk bertahan, UD Pramono juga terpaksa menjual enam ekor sapi perahnya.
Menanggapi permasalahan ini, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) telah berjanji akan mendampingi UD Pramono, mengingat 1.300 peternak bergantung pada usaha ini.
Kementerian berharap adanya dukungan pemerintah pusat agar permasalahan pajak dapat diselesaikan, sehingga UD Pramono dapat terus mengelola pasokan susu dari peternak Boyolali.
Lusia menyatakan, pemerintah daerah tidak tinggal diam. Pihaknya tengah berupaya memfasilitasi dialog antara peternak, pengepul, dan BUMN di bidang pangan agar kelebihan susu yang tak terserap IPS dapat dialokasikan ke pasar yang lain.
Langkah ini diharapkan dapat memberikan solusi jangka pendek bagi peternak yang terancam rugi besar.
Sebagai salah satu daerah penghasil susu terbesar di Jawa Tengah, Boyolali memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan susu segar untuk program-program gizi nasional.
Dengan kondisi pasar yang saat ini didominasi oleh produk impor, banyak peternak lokal kesulitan menjual hasil produksi mereka, yang berisiko mengancam mata pencaharian mereka.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.