Kedaulatan Pangan, Bulog, dan Pelajaran dari TNI di NTB
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SALAH
satu cita-cita Presiden Prabowo Subianto yang disebutkan secara eksplisit di dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden terpilih 2024-2029 adalah
Ketahanan Pangan
.
Namun, dari narasi penjelasan beliau,
ketahanan pangan
yang dimaksud adalah
kedaulatan pangan
(
food sovereignty
), yang tidak hanya sekedar memenuhi syarat-syarat minimal ketahanan pangan versi Bank Dunia, misalnya
Availability, Access, Healthy
, dan
Stability.
Artinya, Prabowo menginginkan Indonesia tidak sekadar berkecukupan pangan, tapi juga menghasilkan pangan sendiri (
self-sufficient
), baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijadikan komoditas ekspor jika produksi domestik mengalami surplus.
Secara strategis maupun teknis, tentu urusannya tidak semudah menarasikan cita-cita tersebut, lalu membacanya di dalam pidato-pidato kenegaraan.
Secara strategis, urusan pangan tentu harus ditempatkan tidak saja pada ranah ketahanan, tapi juga pada ranah lebih luas, yakni ranah keamanan dan pertahanan.
Perut yang lapar, dalam konteks peperangan, misalnya, adalah kekalahan yang sangat telak dihadapan lawan yang berkecukupan pangan.
Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kemudian urusan ketahanan dan keamanan pangan (
food resilience and food security
) diletakkan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, sejak Prabowo menduduki posisi tersebut.
Keputusan tersebut tentu sangat bisa dipahami mengingat betapa signifikan dan krusialnya urusan perut, sebelum kita berbicara urusan-urusan lainnya.
Perut yang lapar, bukan saja akan menyebabkan kekalahan di dalam pertandingan dan pertempuran, tapi juga akan menghambat perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM/
Human Resources
), yang kemudian akan menghalangi lahirnya temuan-temuan dan kreatifitas-kreatifitas teknologis, yang akan menguatkan bangsa dan negara kita di kemudian hari.
Perut yang lapar akan membuat bangsa ini menjadi penghamba kepada negara-negara besar lainnya, hanya karena ingin menyelesaikan urusan perut sendiri.
Namun lagi-lagi secara teknis, dalam praktiknya pemerintah yang belum terbiasa melakukan aktifitas ekonomi produktif cenderung akan “keteteran” menjalankannya.
Sebagaimana telah disaksikan, program
food estate
pada ujungnya terlantar. Padalah
food estate
adalah program strategis yang bisa menjawab berbagai persoalan rendahnya kapasitas produksi pangan nasional. Secara konsepsional dan strategis, memang itulah peruntukan
food estate
.
Nah, karena terkait dengan urusan pertahanan, Kementerian Pertahanan tentu bisa memberikan tanggung jawab khusus tersebut kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tugas tambahan dalam rangka mendukung tugas utama yang terkait dengan pertahanan nasional.
Secara teoritik, terkait dengan relasi sipil-militer, misalnya, tugas-tugas nonkombatan juga acap kali memang diserahkan kepada militer.
Beberapa di antaranya seperti pembasmian ancaman kartel narkoba, pertolongan pertama korban bencana alam, fasilitator program-program sosial kemanusiaan, fasilitator program pendidikan di daerah-daerah tertinggal, dan sejenisnya.
Hal itu sangat bisa dilakukan karena militer memiliki rantai struktural dan komando yang sangat luas, nyaris menyerupai rantai organisasi pemerintahan sipil dan kepolisian.
Sehingga untuk program-program tertentu, yang secara strategis masuk ke dalam urusan pertahanan dan ketahanan nasional, struktur-struktur tersebut bisa dimanfaatkan, selama diatur secara spesifik dengan kepastian akuntabilitas yang juga spesifik dan jelas pula.
Pun secara reputasional, militer, dalam hal ini TNI, memiliki tingkat akseptabilitas yang tinggi di mata masyarakat banyak.
Nyatanya selama ini memang TNI adalah salah satu institusi negara yang memiliki tingkat “approval rating” paling tinggi di satu sisi dan masih sangat dihormati oleh hampir semua elemen masyarakat di sisi lain.
Sehingga, keunggulan reputasional tersebut semestinya bisa menjadi modal awal bagi TNI untuk mendulang keberhasilan dalam menjalankan program-program ketahanan dan kedaulatan pangan di seluruh Indonesia di kemudian hari.
Urusan pertama terkait dengan kedaulatan pangan yang harus dilakukan, terutama oleh TNI, jika kewenangan urusan kedaulatan pangan diserahkan kepada TNI sepenuhnya, adalah dari sisi produksi.
Dalam hal ini, secara spesifik tentu tidak melulu soal penguasaan lahan tersendiri yang luas untuk berproduksi.
Perkara peningkatan produksi tidak melulu soal di mana lahannya dan bagaimana proses pengalihan lahan tersebut kepada institusi yang dipercaya untuk menanganinya.
Memang TNI, layaknya beberapa institusi negara lainnya, memiliki lahan atas nama institusi, yang jumlahnya boleh jadi cukup luas.
Namun, perkara produksi tidak melulu dikaitkan dengan keharusan memiliki lahan sendiri, yang berpotensi menyuluk konflik dengan banyak pihak di lahan-lahan luas tersebut.
Dalam temuan saya di lapangan, Danrem 162 Wira Bhakti Nusa Tenggara Barat (NTB) cukup bisa memahami kerumitan dalam menguasai lahan yang luas tersebut, sehingga mencoba bereksperimen dengan model kemitraan dengan petani di Lombok Timur untuk memastikan bahwa produksi jagung dan padi di sana terjamin hasilnya.
Lagi-lagi hal tersebut bisa diwujudkan karena kedekatan Korem (dan Danrem) Wira Bhakti dengan masyarakat setempat sekaligus mendapatkan dukungan penuh dari pengusaha lokal dan petani-petani di sana.
TNI bisa dengan cukup mudah untuk menyampaikan visi betapa pentingnya urusan kedaulatan pangan kepada masayarakat di satu sisi dan sekaligus bisa merangkul mereka dengan cukup erat karena faktor reputasional di satu sisi dan faktor kedekatan di sisi lain.
Selain urusan model kemitraan, hal lain soal produksi pangan yang layak dipelajari dari Korem 162 Wira Bhakti NTB adalah memahami urusan kedaulatan pangan tidak melulu perkara ekstensifikasi atau perluasan lahan produksi, tapi juga urusan produktifitas.
Dengan luas lahan yang masih sama dengan waktu-waktu sebelumnya, Korem Wira Bhakti meyakini, akan tetap bisa meningkatkan produksi dengan upaya-upaya perbaikan produktifitas, yang menurut kajian dari Tim Ahli Danrem Wira Bhakti, bisa diangkat hingga ke level 30 persen.
Hal itu bisa dicapai dengan dua cara. Pertama adalah penggunaan teknologi. Kedua, karena teknologi tersebut, masa panen bisa dilakukan sebanyak dua kali di lahan-lahan yang selama ini hanya bisa panen sekali lantaran faktor iklim.
Untuk urusan pertama, Korem bekerja sama dengan salah satu penyedia semacam pupuk berupa air yang diawetkan, yang bisa bertahan cukup lama.
Lahan yang kering di saat musim kemarau, tetap bisa digunakan untuk bercocok tanam jagung dan sejenisnya, setelah diberi pupuk tersebut, karena lahannya akan tetap lembab dan mengandung air yang cukup di musim kemarau.
Selain itu, Korem Wira Bhakti juga bermitra dengan “start-up” lokal yang berhasil mengembangkan pupuk dari bahan berkandungan lokal yang bisa meningkatkan produktifitas tanaman sampai lebih dari 30 persen.
Uji coba yang dilakukan Korem Wira Bhakti dan salah satu
start-up
pupuk di NTB berhasil menunjukkan hasil yang sangat positif.
Penggunaan pupuk bisa meningkatkan produktifitas hampir semua jenis tanaman pertanian, mulai dari jagung, padi, tembakau, dan lainnya, termasuk untuk ternak, dengan nominal kenaikan yang sangat memuaskan.
Selain urusan produksi, masalah lainnya adalah pengelolaan cadangan. Selama ini, institusi sosial komersial yang dipercaya untuk mengurus kepastian cadangan pangan nasional adalah BUMN Bulog.
Hanya saja selama ini Bulog kurang terlalu berhasil menjalankan tugasnya, sehingga urusan cadangan pangan acapkali tak beririsan dengan urusan kedaulatan pangan, karena ujung-ujungnya harus mengimpor bahan pangan.
Nah, ketika urusan ketahanan pangan menjadi urusan kedaulatan di satu sisi dan urusan keamanan dan pertahanan di sisi lain, maka mau tak mau sebenarnya Bulog juga harus berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan secara umum dan di bawah koordinasi TNI secara khusus.
Harapannya, implementasi visi kedaulatan pangan di bawah wewenang TNI menjadi jauh lebih terintregrasi, sehingga mudah dikelola sedari hulu sampai hilir, dari produksi, distribusi, sampai pada urusan pengelolaan stok (
reserves management
).
Di bawah koordinasi dan arahan TNI, saya yakin berbagai macam “patologi” bisnis yang terjadi selama ini di dalam Bulog bisa segera diatasi.
Setidaknya, dalam logika yang paling sederhana, jika sudah masuk ke dalam ranah pertahanan dan keamanan negara, TNI sudah sangat terbukti jauh lebih berani mengorbankan darah dan nyawanya untuk Indonesia, ketimbang institusi lain, yang berusaha berlindung di balik urusan ketahanan pangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.
Dengan kata lain, ketimbang mengarahkan wacana Bulog disubordinasi di bawah Kementerian Pertanian melalui Badan Pangan Nasional, lebih baik Bulog berada di bawah koordinasi dan arahan TNI, yang sudah terlebih dahulu diberi wewenang penuh dalam urusan kedaulatan pangan.
Saya cukup yakin, TNI tidak akan sembarang dalam menjalankannya, karena taruhannya adalah reputasi yang sudah sangat baik selama ini di mata publik.
Reputasi tersebut bisa seketika hancur hanya karena satu praktik buruk yang ditemukan publik di kemudian hari.
Simpulan yang ingin saya sampaikan di sisi adalah bahwa pertama, jika memang urusan ketahanan pangan kita adalah urusan kedaulatan pangan, maka mau tidak mau Kementerian Pertahanan harus segera menurunkannya kepada institusi TNI, sebagai penjaga gawang utama kedaulatan nasional Indonesia.
Kedua, urusan peningkatan produksi pangan nasional tak melulu urusan ekstensifikasi lahan, di mana lahan yang sangat luas harus disediakan secara tersendiri untuk memproduksinya.
Model kemitraan dengan petani bisa dilakukan di satu sisi dan peningkatan produktifitas lahan dengan menggunakan teknologi di sisi lain.
Ketiga, karena masalah pangan kita sangat terkait dengan urusan musim dan momen, sehingga membutuhkan pengelolaan cadangan secara baik, maka TNI juga semestinya diberikan wewenang di ranah itu.
Artinya, urusan pengelolaan cadangan pangan yang diurus oleh Bulog harus juga berada di bawah koordinasi TNI.
Bulog semestinya berada di bawah institusi TNI, dalam konteks wewenang TNI dalam mewujudkan urusan kedaulatan pangan. Sehingga urusan peningkatan produksi, distribusi, dan pengelolaan cadangan berada di bawah satu atap yang terintegrasi.
Keempat, sebagaimana cerita saya di atas tentang sepak terjang Korem 162 Wira Bhakti NTB, proyek percontohan diperlukan untuk membuktikan konsep kedaulatan pangan berbasiskan kemitraan dan teknologi baru ini.
Untuk itu, NTB dan Korem 162 Wira Bhakti, dalam hemat saya, layak dijadikan
pilot project
untuk wilayah Indonesia Timur.
Saya meyakini, waktu setahun cukup untuk Korem 162 Wira Bhakti untuk membuktikan model yang telah mereka rumuskan tersebut.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.