Jakarta (ANTARA) – Dalam 5 bulan terakhir, daya beli masyarakat Indonesia mengalami penurunan. Meski kondisi ekonomi melemah, perilaku konsumtif justru semakin menonjol. Tiket konser ludes terjual, gadget premium diburu, antrean panjang untuk produk seperti boneka Labubu hingga produk-produk mewah kecil yang sebenarnya tidak diperlukan tetap ramai dibeli.
Fenomena ini sering disebut sebagai “boba factor”, yakni sebuah istilah yang menggambarkan pola konsumsi impulsif untuk mencari pelarian dari tekanan ekonomi atau emosi, tanpa disadari oleh pelakunya. Seperti meminum boba yang manis di awal tetapi menyisakan risiko kesehatan jangka panjang, boba factor menjelaskan perilaku konsumtif yang sekilas menyenangkan namun menyimpan potensi bahaya finansial bagi individu yang tidak menyadari dampaknya.
Belanja impulsif adalah perilaku membeli barang atau jasa tanpa perencanaan sebelumnya, sering kali terjadi oleh dorongan emosional sesaat. Perilaku ini dapat dipicu antara lain oleh promosi yang menggoda, pengaruh emosional seperti stres, kebahagiaan semu, dan rasa bosan. Misalnya adalah perasaan gengsi atau khawatir tertinggal tren kekinian yang sering disebut FOMO dan YOLO yaitu pandangan bahwa hidup hanya sekali, sehingga mempengaruhi seseorang untuk menikmati momen saat ini tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang.
Boba factor menonjol sebagai pola konsumsi impulsif di mana seseorang mengeluarkan uang untuk kepuasan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Banyak pelaku boba factor sering tidak menyadari bahwa kepuasan instan dari perilaku konsumtif ini dapat membawa konsekuensi serius bagi stabilitas finansial mereka.
Mirip dengan sensasi instan dari minuman manis, perilaku ini memberikan kepuasan sementara, tetapi mengarah pada risiko jangka panjang yang berpotensi membahayakan stabilitas keuangan. Tanpa disadari, banyak Gen Z saat ini mengalokasikan dana untuk membeli barang-barang mewah kecil atau affordable luxury, seperti gadget, aksesori branded, dan produk kecantikan, yang mereka anggap “sekadar hiburan” di tengah tekanan ekonomi.
Menurut survei Inventure 2024, sekitar 34 persen Gen Z bahkan menggunakan pinjaman online untuk memenuhi hasrat belanja ini. Alih-alih menabung atau mengalokasikan dana untuk kebutuhan pokok, mereka cenderung menggunakan dana pinjaman demi kepuasan instan. Ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap konsekuensi jangka panjang yang bisa memicu masalah keuangan di masa mendatang.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2024 menunjukkan bahwa kelompok usia 19 hingga 34 tahun, yang mencakup Gen Z dan milenial, menyumbang 37,17 persen dari total kredit macet pinjaman online. Dengan total outstanding pinjaman online sebesar Rp69,39 triliun pada Juli 2024, dan tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) sebesar 2,53 persen, nilai kredit macet mencapai sekitar Rp1,75 triliun. Ini berarti Gen Z dan milenial berkontribusi sekitar Rp650 miliar dalam kredit macet tersebut.
Fenomena boba factor juga memiliki kaitan dengan konsep “lipstick effect,” di mana ketika ekonomi sedang menurun, banyak orang cenderung membeli barang-barang mewah kecil untuk merasa nyaman.
Dalam konteks Gen Z di Indonesia, lipstick effect terlihat pada pola pembelian barang-barang seperti gadget atau produk kecantikan yang terjangkau namun tetap bernilai kemewahan. Tekanan dari media sosial juga berperan besar dalam memengaruhi perilaku ini, karena gaya hidup mewah yang sering kali terlihat di platform digital mendorong banyak pengguna untuk merasa “harus ikut” dalam tren tersebut. Akibatnya, mereka mengeluarkan uang untuk barang-barang yang tidak diperlukan demi memenuhi ekspektasi sosial, tanpa menyadari dampaknya pada keuangan.
Agar tidak terperangkap dalam boba factor, yang dampaknya kerap kali terselubung, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dalam mengelola keuangan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh El Barka, salah satu jurnal bereputasi nasional di bidang ekonomi dan bisnis Islam, menunjukkan bahwa nilai etis dan literasi keuangan dapat secara efektif mengurangi perilaku konsumtif ini. Riset ini menemukan bahwa Gen Z yang memiliki pemahaman etis yang kuat lebih mampu menahan godaan berbelanja berlebihan, menunjukkan pentingnya integrasi etika dalam literasi keuangan untuk membentuk kebiasaan finansial yang lebih sehat.
Dengan pendekatan “sadari, terima, dan perbaiki,” seseorang dapat mengubah kebiasaan belanja yang boros menjadi lebih bijak.
Langkah pertama, “Sadari“, berarti menyadari bahwa belanja impulsif atau boba factor bukanlah solusi untuk mengatasi stres atau tekanan emosional. Dengan memahami dampak negatif dari perilaku ini, seseorang bisa lebih bijak dalam membedakan kebutuhan nyata dari sekadar keinginan.
Langkah berikutnya adalah “Terima”. Menerima kondisi ekonomi yang tidak pasti membantu seseorang fokus pada kebutuhan esensial. Konsep hidup sederhana, seperti disarankan oleh pengusaha multinasional Heppy Trenggono, menyarankan agar masyarakat membeli barang yang fungsinya sama tetapi dengan harga yang paling terjangkau atau kemudian lebih dikenal dengan istilah “hiduplah semurah mungkin”, prinsip tersebut adalah cara agar dapat menyesuaikan gaya hidup dengan kondisi ekonomi saat ini.
Langkah terakhir, “Perbaiki”, mengharuskan seseorang untuk membuat batasan pengeluaran yang jelas. Metode seperti Eisenhower Matrix yang menguatkan pendapat Imam Syafi’i dapat diterapkan untuk memetakan prioritas kebutuhan, membantu seseorang fokus pada kebutuhan yang penting dan paling mendesak, sehingga tidak mudah tergoda oleh pembelian impulsif yang sebenarnya tidak diperlukan.
Di tengah perkembangan media sosial yang semakin masif, masyarakat perlu lebih bijak dalam menyikapi pengaruh dari tren konsumsi di platform digital. Bukan hanya konsumen, tetapi media sosial dan platform belanja daring juga memiliki tanggung jawab untuk tidak mempromosikan gaya hidup mewah yang bisa memicu boba factor. Konten edukatif tentang literasi keuangan dan hidup sederhana sebaiknya lebih banyak dihadirkan, agar masyarakat lebih mampu membedakan kebutuhan esensial dengan keinginan konsumtif.
Selain itu, edukasi finansial yang berkesinambungan juga perlu terus diperkuat, khususnya di kalangan Gen Z. Dengan pemahaman finansial yang baik, mereka akan dapat mengelola pengeluaran secara bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh iklan atau unggahan media sosial yang mendorong perilaku belanja impulsif. Kebijakan pembatasan akses pinjaman online juga perlu diperhatikan, mengingat banyaknya Gen Z yang beralih ke pinjaman online untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mereka.
Untuk mencegah terjebaknya masyarakat dalam boba factor, penting untuk membangun kesadaran finansial dan memiliki nilai etis yang kuat. Dengan pola pikir “sadari, terima, dan perbaiki,” seseorang dapat mengembangkan kebiasaan belanja yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Beberapa metode ini dapat diharapkan membantu masyarakat Indonesia mencapai kondisi keuangan yang lebih stabil meski di tengah ketidakpastian ekonomi.
*) Baratadewa Sakti Perdana adalah praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Keuangan Bisnis UMKM
Copyright © ANTARA 2024