Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto meyakini program 3 juta rumah per tahun yang digagas Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi backlog atau kekurangan pasokan rumah.
Backlog rumah adalah kondisi di mana jumlah unit perumahan yang dibutuhkan masyarakat, belum terpenuhi dalam suatu wilayah tertentu.
Saat ini Indonesia menghadapi angka backlog yang besar, yakni mencapai 12,7 juta unit. Ironisnya, tidak terjadi penurunan signifikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
“REI meyakini apa yang menjadi program ini adalah bagian dari satu untuk menumbuhkan ekonomi. Kedua adalah cara pendekatan terhadap backlog. Ketiga juga adalah cara mengedukasi masyarakat desa untuk mengakses perbankan melalui pembiayaan rumah-rumah yang nantinya akan difasilitasi oleh pemerintah,” kata Joko kepada Beritasatu.com, Selasa (5/11/2024).
Selain itu program 3 juta rumah per tahun dinilai juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, serta bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Joko menjelaskan, industri properti/perumahan memiliki multiplier effect yang besar, karena mampu menyerap 14 sampai 17 juta tenaga kerja serta menggerakkan 185 industri turunannya di sektor riil.
Secara otomatis, dengan adanya program 3 juta rumah per tahun, industri turunan tersebut akan tumbuh, lapangan kerja baru semakin terbuka, dan bakal menumbuhkan ekonomi di berbagai wilayah di Indonesia.
“Pada saatnya itu akan menyerap tenaga kerja juga akan mendistribusikan pendapatan, multipliernya juga akan sangat banyak. Artinya hilirnya adalah 185 industri akan bergerak dan hulunya adalah rumah itu sendiri,” ucapnya.
“Satu rumah minimalnya akan menyerap empat tenaga kerja. Ya bayangkan itu ada 1 juta (rumah) berarti tambah 4 juta (tenaga kerja) atau 3 juta (rumah) berarti ada 12 juta (tenaga kerja),” tambahnya.
Joko meyakini program ini akan menjadi episentrum baru bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekaligus memberikan dampak pertumbuhan ekonomi nasional minimal 0,5%
“Inilah yang akan menjadi titik episentrum baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Satu serapan tenaga kerja, kedua adalah distribusi pendapatan. Ketiga adalah menekan stunting. Keempat adalah menekan kemiskinan, dan kelima adalah multipliernya akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat,” tutupnya.