Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kratom dan Lingkaran Setan Methadone: Perjuangan Yusuf Melepas Candu

Kratom dan Lingkaran Setan Methadone: Perjuangan Yusuf Melepas Candu

Jakarta, CNN Indonesia

Muhammad Yusuf (23) terpaksa harus masuk tempat rehabilitasi Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung pada akhir 2013 gara-gara kecanduan obat suboxone alias bukson.

Suboxone merupakan obat kombinasi buprenorphine-naloxone yang biasa dipakai dalam rehabilitasi untuk mengatasi ketagihan opioid seperti putau hingga morfin. Bukson masuk ke Indonesia sejak 2000.

Yusuf mengenal bukson saat masih SMA. Ia dan temannya kecanduan mengonsumsi obat yang kerap dipakai untuk rehabilitasi para pemadat itu.

Bukson beredar di pasar gelap. Harga satu butirnya bisa mencapai sekitar Rp800 ribu. Satu butir obat ini biasanya dipecah lagi menjadi 16 bagian dan dijual Rp50 ribu hingga Rp70 ribu.

Yusuf menjalani rehab selama tiga tahun. Selama rehabilitasi ia mendapat obat methadone (metadona) untuk mengalihkan ketergantungan pada bukson. Biasanya methadone diberikan juga pada pengguna putaw.

Yusuf meminum obat tersebut untuk mengatasi gejala putus obat. Untuk memperoleh methadone, ia harus mendapat resep dokter dari rumah sakit. Saat itu, sekali minum satu dosis methadone dibanderol sekitar Rp15 ribu.

Alih-alih menyembuhkan, methadone malah menjadi candu baru bagi Yusuf. Badannya langsung sakit bukan main ketika tak minum obat tersebut. Ia bahkan tak mampu beranjak dari tempat tidurnya jika sudah merasa kesakitan.

“Ketika kita putus zat dari methadone ini, sakit sekali. Susah untuk didefinisikan rasa sakitnya seperti apa,” kata Yusuf di Bandung, Jawa Barat, awal September 2023.

Yusuf baru keluar dari tempat rehabilitasi pada 2017. Ia mulai mencari alternatif obat yang bisa mengatasi gejala putus obat dari methadone.

Seorang temannya lantas merekomendasikan Yusuf untuk mencoba kratom. Temannya ini juga pasien ketergantungan obat yang menjalani rehabilitasi namun keluar lebih awal. Menurut Yusuf, temannya merasa jauh lebih baik setelah rutin minum kratom.

“Alhamdulillah sampai sekarang lebih produktif lah hidupnya ya, dan badannya pun tidak seperti dulu, kurus kering,” ujarnya.

Yusuf akhirnya tertarik mencoba kratom. Ia memesan langsung dari temannya yang berada di Pontianak, Kalimantan Barat. Harga satu kilogram kratom dalam bentuk bubuk tepung ia beli sekitar Rp120 ribu.

Cara konsumsi kratom seperti membuat kopi atau teh. Bubuk kratom cukup diseduh dengan air panas. Awal-awal, Yusuf langsung minum dalam jumlah banyak. Ia tak menghitung berapa sendok kratom yang diminum dalam sehari. Saking banyaknya, ia sempat merasakan mual hingga keringat dingin.

“Sekarang saya menakar. Per harinya empat sendok makan, pagi, siang, sore, dan malam,” kata Yusuf.

Yusuf merasa tubuhnya lebih bugar setelah rutin minum kratom. Ia tak lagi mengalami gejala putus obat methadone yang sakitnya bukan main dan bisa beraktivitas seperti sebelum konsumsi bukson dan methadone.

Yusuf kini bekerja di sebuah perusahaan marketplace.

Yusuf belum berpikir untuk berhenti minum kratom. Ia mengakui kratom jadi candu baru baginya. Saat menurunkan jumlah yang dikonsumsi, dirinya sempat merasakan gejala putus obat, namun masih dalam batas normal.

“Beda dengan bukson atau methadone yang menimbulkan rasa sakit yang luar biasa di badan, terus resah sampai halusinasi segala macam,” ujarnya.

Kini Yusuf was-was ketika mendengar kabar kratom akan dimasukkan ke dalam narkotika golongan I (satu). Jika itu terjadi, ia dan temannya yang rutin mengonsumsi kratom bisa dipidana.

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkoba golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Jika dilanggar bisa terkena hukuman minimal 5 tahun sampai 20 tahun penjara.

Yusuf ingin pemerintah mengatur penggunaan kratom ini agar orang-orang sepertinya yang ingin lepas dari methadone atau obat adiksi lainnya memiliki alternatif lain. Ia tak mau nasib kratom seperti ganja.

“Kalau misalkan harus dimasukkan ke golongan I menurut saya agak berlebihan. Saya mendukung jika kratom sifatnya seperti metadhone yang [di rehabilitasi RSUP] Hasan Sadikin. Jadi hanya terkhusus untuk pengobatan-pengobatan tertentu,” katanya.

Berlanjut ke halaman berikutnya…

Yusuf mengatakan pengguna kratom di Bandung cukup tinggi, mayoritas anak-anak muda. Kratom biasanya dijual eceran. Satu plastik klip berukuran sedang dijual seharga Rp50 ribu.

Namun, Yusuf menyayangkan kratom disalahgunakan, termasuk oleh sejumlah temannya. Mereka mengonsumsinya dengan cara dicampur obat-obatan antidepresan seperti benzo hingga minuman beralkohol.

“Penyalahgunanya itu rentan dengan overdosis, itu yang bahaya penyalahgunaan,” katanya.

Pendiri Rumah Cemara, Patri Handoyo mendorong pemerintah segera mengambil sikap terkait kratom ini. Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bisa menetapkan kratom masuk dalam golongan obat herbal atau jamu. Ia pun berharap Kemenkes segera menuntaskan penelitian kratom bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

“Kalau misalnya kratom sudah dikategorikan sebagai jamu atau obat tradisional itu kan pengawasannya akan lebih jelas, dan badan POM juga punya kewenangan untuk mengawasi itu,” ujarnya ujar Patri.

Patri mengatakan pemerintah tak bisa begitu saja melarang konsumsi maupun penjualan tanaman endemik Kalimantan tersebut. Menurutnya, kebijakan pelarangan hanya akan membuat kratom masuk ke dalam pasar gelap.

“Pasar gelap artinya produksi gelap, terus peredaran gelap. Nah, kalau sudah diproduksi secara gelap, mereka pasti mencari laba yang sebesar-besarnya,” kata Patri.

Foto: (CNN Indonesia/Hamka Winovan)
Patri Handoyo, Pendiri Rumah Cemara.Larangan BNN

Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Kemenkes, BRIN, serta BPOM untuk meneliti lebih lanjut manfaat tanaman kratom di tengah polemik kandungan narkotika. Hasil riset lanjutan ditargetkan rampung pada Agustus 2024.

Instruksi itu diberikan Jokowi pada rapat internal tentang kebijakan dalam penanganan, pemanfaatan, dan perdagangan tanaman kratom di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (20/6).

Kepala BNN RI Komjen Marthinus Hukom sementara itu meminta agar tanaman kratom tetap tidak digunakan oleh masyarakat selama masa riset, kecuali untuk kepentingan penelitian.

“Kratom memiliki efek samping yang berbahaya bagi tubuh, terlebih jika digunakan dengan dosis tinggi,” ujar Marthinus dalam keterangan tertulis resmi, Jumat (21/6).

Hingga kini, kata Marthinus, budidaya dan konsumsi kratom masih belum diatur dalam Undang-Undang (UU) Narkotika, sehingga BNN mengusulkan untuk dilakukan penelitian teknis tentang kratom.

Sejak 2022, Marthinus menuturkan BNN telah merehabilitasi 133 orang penyalahguna kratom dengan ciri-ciri klinis seperti yang terjadi pada penyalahguna zat opioid, yakni kecemasan, tegang, muntah, pusing, dan mual.

Beberapa kebijakan dari lembaga terkait, seperti BPOM telah melarang penggunaan kratom dalam obat bahan alam.

Selain itu, lanjut dia, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan narkoba dan kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) juga tetap pada kebijakannya bahwa kratom dan semua turunannya berada dalam pengawasan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang akan terus memonitor literatur ilmiah serta perkembangan kratom di seluruh dunia.

Sikap BNN Berdasarkan Surat Edaran BNN 2019 (SE Kepala BNN Nomor B/3985/X/KA/PL.02/2019/BNN tahun 2019) terkait peredaran dan penyalahgunaan kratom di Indonesia, kata dia, mendukung keputusan Komnas Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika bahwa tanaman kratom merupakan narkotika golongan I.

“Diperlukan intervensi sustainable alternatif development tanaman kratom, khususnya di wilayah Kalimantan dan melakukan sosialisasi bahaya mengonsumsi kratom,” ucap dia.