Kisah Perempuan Disabilitas Diperkosa Paman: Berjuang Lawan Trauma, Kini Tak Diterima Keluarga
Tim Redaksi
SUMBAWA, KOMPAS.com
– Butuh waktu satu tahun bagi A menjalani rehabilitasi dan pemulihan trauma di
Sentra Paramitha Mataram
, Nusa Tenggara Barat (NTB). Perempuan berusia 21 tahun dengan disabilitas daksa ini berusaha melewati masa-masa sulit.
Perjalanan yang tak mudah karena A menjadi korban pemerkosaan hingga hamil. Kehamilan yang tak diinginkan itu membuatnya putus asa dan sempat ingin mengakhiri hidup.
Ingatan A pada tindakan pemerkosaan yang dilakukan sang paman masih membekas. Dan akan terus diingat seumur hidupnya. Meski ia berusaha berdamai dengan masa lalu yang kelam.
Saat kejadian itu, A tidak berani melapor atau menceritakan kekerasan seksual yang menimpanya. Hal itu karena ia diancam akan dibunuh oleh paman.
Kebetulan saat kejadian, ia tinggal di rumah bibi dan pamannya karena sang ayah bekerja di luar kota.
Kekerasan seksual yang menimpa A diketahui saat ia sering sakit. A tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya karena ia tidak pernah mendapatkan edukasi bahwa diperkosa bisa membuatnya hamil.
Ia kerap muntah di pagi hari. A diduga menderita mag akut. Akhirnya bibinya membawanya ke puskesmas untuk mendapatkan penanganan medis.
Setelah dilakukan cek urine, hasilnya sangat mengejutkan, A dinyatakan positif hamil. Saat itu bibinya menanyakan siapa pelakunya.
Tetapi saat di puskesmas korban tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena ada pamannya.
Bibi kembali bertanya siapa yang telah melakukan perbuatan bejat itu, hingga akhirnya A bercerita bahwa pamannya yang telah memerkosa dan mengancamnya.
Peristiwa itu pertama kali terjadi pada Maret 2023 sebelum memasuki bulan Ramadhan, korban diangkat oleh terduga ke depan ruangan keluarga kemudian diperkosa.
Hingga kasus itu dilaporkan ke Mapolres
Sumbawa
. Selama proses litigasi itu, A didampingi oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumbawa. HB (51) sebagai terdakwa yang melakukan pemerkosaan dijatuhi vonis 13 tahun penjara.
Seiring waktu, proses pemulihan dan rehabilitasi terus berjalan lancar. A tak mau terus terpuruk. Ia berjuang melawan trauma. Setiap malam ia dihantui mimpi-mimpi yang menakutkan.
“Jika ingat lagi masa-masa sulit itu saya tak kuat. Saya masih terguncang,” kata A saat dikonfirmasi, Senin (4/10/2024).
Selama menjalani rehabilitasi, ia sempat tak mau makan. Ia berdalih tak makan bisa membuat anak dalam kandungannya meninggal. Dia juga berharap akan keguguran saat tak ada asupan makanan. Namun, upaya itu tak pernah membuahkan hasil.
Sampai A mendapatkan nasihat dari psikolog. Pekerja sosial di Sentra Paramitha langsung menghubungi pendamping dari LPA Sumbawa yang selama ini membantunya melewati masa sulit saat menjalani pemeriksaan litigasi dan non-litigasi.
“Dari situ saya mulai menerima nasib. Saya berusaha mengisi hari-hari dengan aktivitas yang padat. Sampai tak ada pikiran negatif yang terbesar,” cerita A.
Sembilan bulan mengandung, A mengalami pembukaan dan tanda-tanda akan melahirkan. Proses persalinan berjalan lancar dan bayi A dalam keadaan selamat dan sehat.
Setahun berjalan, anak A sudah berusia tujuh bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang lucu. A merasa tidak sendiri saat di Paramitha. Ada banyak teman-teman yang memiliki nasib yang sama dengannya.
“Saat ingin bercerita, ada teman-teman yang siap mendengarkan keluhan kesah,” sebutnya.
Ada pula psikolog dan ibu panti yang sudah seperti keluarga sendiri. Setiap hari A memiliki jadwal yang teratur. Ada kelas menjahit, olahraga, memasak, makan bersama dan parenting menyusui.
Hal yang menyenangkan ketika A bisa berinteraksi dengan sang anak di sela-sela menjalani aktivitas rehabilitasi.
“Saya sering
video call
dengan A. Kadang ia menelepon dan bercerita. Ia kangen. Dia panggil saya ibu. Kemarin dia ada nelepon Saya senang melihat dia bisa berangsur pulih dari trauma,” cerita Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) sekaligus pendamping A, Fatriatulrahma saat ditemui, Senin (4/11/2024) sore.
Perjalanan A penuh liku. Ibu kandungnya sudah meninggal. Sementara ayahnya bekerja menjadi satpam di sekolah internasional yang berada di lingkar tambang Kabupaten Sumbawa Barat.
A sempat diasuh oleh kakek dan nenek tapi kondisi mereka sudah rentah. Lalu diasuh oleh bibi dan paman hingga terjadi peristiwa kelam itu.
Kini, A mulai gundah. Pasalnya, waktu A menjalani rehabilitasi sudah diambang batas. Sementara waktu di Sentra Paramitha juga terbatas. Sudah waktunya ia kembali ke keluarga. Namun, ayah dan ibu tiri A tak mau menerimanya kembali. Mereka berdalih seribu alasan.
“Saya sudah berusaha menelepon dan berbicara berulang kali dengan ayah kandung A. Tapi dia tidak mau mengajaknya tinggal dengan alasan istrinya tak mau menerima A tinggal di situ,” kata Atul, sapaan akrab Fatriatulrahma.
“Saya juga tegaskan sama ayah A, bahwa istrinya harus terima anaknya. Jangan begitu. Bagaimana pun anak ini tanggung jawab si ayah. Ia harus diterima kembali ke keluarga,” imbuh Atul.
Persoalan A masih terus dicarikan jalan keluar. Sementara anak A, ada opsi untuk diadopsi negara.
“Saya marah dengan ayah A. Kenapa dia tidak bertanggung jawab atas nasib anaknya. Satunya jalan jika ia tak ambil anaknya saya akan laporkan ke polisi,” ujar Atul.
Menurutnya, permasalahan kekerasan seksual kerap berawal dari masalah keluarga yang dipicu persoalan ekonomi, kemiskinan dan sosial.
Kondisi A tidak bisa membaca. Ia tidak pernah sekolah di bangku formal, tetapi belajar secara otodidak untuk bisa berkomunikasi dan mengenal huruf A sampai G serta bisa mengenal angka 1-10.
Lebih jauh, A sudah masuk dalam data terpadu kemiskinan sehingga mendapatkan bantuan PKH dan BPJS kesehatan dari Kementerian Sosial.
Upaya pemenuhan hak dan perlindungan
korban kekerasan seksual
terus dilakukan pemerintah daerah melalui penguatan koordinasi lintas sektor dengan stakeholder terkait.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.