Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Benarkah Kerusakan Hutan RI 23 Kali Luas Madura Seperti Kata Mahfud?

Benarkah Kerusakan Hutan RI 23 Kali Luas Madura Seperti Kata Mahfud?

Jakarta, CNN Indonesia

Calon wakil presiden nomor urut tiga Mahfud MD menyebut aktivitas perusakan hutan atau deforestasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir menyebabkan lahan gundul yang lebih luas 23 kali dari Pulau Madura.

“Dalam 10 tahun terakhir terjadi deforestasi 12,5 (juta) hektare hutan kita. Itu jauh lebih luas dari Korea Selatan dan 23 kali luasnya Pulau Madura di mana saya tinggal. Ini deforestasi dalam waktu 10 tahun,” kata Mahfud dalam debat cawapres kedua di JCC, Jakarta, Minggu (21/1) malam.

Mahfud juga mencatat ada lebih dari 2.500 aktivitas tambang ilegal di sejumlah daerah.

Lantas benarkah kerusakan hutan di Indonesia mencapai 23 kali Pulau Madura seperti kata Mahfud?

Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mencatat sepanjang rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi), terjadi deforestasi 3,4 juta hektare selama periode 2015-2023. Ia menuturkan penyebab utamanya adalah dua kali kebakaran hutan yang sangat besar pada 2015 dan 2019.

“Selain itu, tentunya ekspansi perkebunan sawit yang sebenarnya terus terjadi walaupun sudah ada moratorium izin di hutan primer dan lahan gambut, maupun moratorium sawit,” ujar Leonard kepada CNNIndonesia.com, Minggu (21/1).

Tak cuma itu, Leonard menyebut pembangunan infrastruktur yang masif sepanjang hampir 10 tahun rezim Jokowi, termasuk PSN, juga menjadi penyebab deforestasi. Kemudian, kata dia, eksploitasi nikel secara besar-besaran di Indonesia bagian Timur juga menjadi penyebab deforestasi.

Dirinya menyarankan untuk presiden dan wakil presiden yang terpilih pada Pilpres 2024 harus berkomitmen untuk nol deforestasi atau tidak ada sama sekali penebangan pohon, baik deforestasi terencana, maupun memberantas deforestasi ilegal.

“Juga harus semaksimal mungkin mencegah kebakaran hutan,” kata dia.

Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menyampaikan data yang disampaikan oleh Mahfud agak kurang tepat.

Pasalnya, laju kehilangan tutupan hutan primer sejak 2014 telah mengalami penurunan, yang pada 2016 mengalami lonjakan karena terjadi kebakaran hutan yang besar.

Berdasarkan data Global Forest Watch, tingkat kehilangan hutan primer di Indonesia terus menurun pada 2021 selama lima tahun berturut-turut, yaitu turun 25 persen dibandingkan tahun 2020.

Pada 2020, Indonesia telah kehilangan 270 ribu hektare lahan hutan primer. Kondisi tersebut setara dengan menyumbang emisi karbon sebesar 208 metrik ton (mt). Kemudian, kehilangan hutan menjadi 200 ribu hektare hutan primer pada 2021.

Sementara pada 2022 sebagaimana data terakhir, Indonesia kehilangan 230 ribu hektare hutan primer. Luas tersebut setara dengan 177 metrik ton emisi karbon.

Indonesia paling banyak kehilangan hutan di 2016 dan relatif paling sedikit hilang di 2021. Dapat terlihat dalam grafik bahwa terdapat 929 ribu hektare hutan yang habis pada 2016.

Apabila ditelaah lebih lanjut, pada 2016, banyak hutan di Pulau Sumatera yang terbakar hebat. Terutama pada Provinsi Riau yang terjadi sepanjang bulan Juli 2016, yang mana disinyalir berkontribusi pada hilangnya hutan Indonesia.

Namun berdasarkan grafik, Indonesia dinilai berhasil menekan laju hilangnya hutan primer. Hal ini terlihat dari grafik yang relatif turun dari 2016 hingga 2021, sebelum akhirnya kembali naik di 2022. Pada lima periode tersebut, Indonesia terpaksa kehilangan 2,43 juta hektare hutan.

“Tapi yang jelas yang ingin saya garis bawahi adalah trennya menurun. At least 4-5 tahun terakhir,” kata Andry kepada CNNIndonesia.com.

Ia berharap presiden dan wakil presiden yang terpilih pada Pilpres 2024 dapat meminimalisir kerusakan hutan dan mengutamakan transparansi data. Pasalnya, Andry mengatakan sampai hari ini belum terlihat komitmen pemerintah terhadap transparansi data, terutama di sektor kehutanan dan lahan.

“Lalu, kedua, penggunaan teknologi atau sistem alias Early Warning System (EWS) yang saya kira mampu menanggulangi kerusakan hutan, salah satunya juga potensi deforestasi dan kebakaran hutan. Ini menurut saya yang belum maksimal penanganan di beberapa daerah di mana kawasan hutan itu banyak berada,” tuturnya lebih lanjut.

(skt/del)