9 OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya Nasional

9
                    
                        OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
                        Nasional

OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com

Oriental Circus Indonesia
(OCI) buka suara terkait dengan perseteruannya dengan mantan pemain sirkus binaan mereka.
Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia,
Tony Sumampau
, mengatakan, pembentukan OCI berawal dari situasi politik Indonesia yang memanas pasca peristiwa G30S pada tahun 1966.
Saat itu, kebutuhan hiburan untuk prajurit yang bertugas menjaga keamanan mendorong lahirnya kelompok akrobatik yang akhirnya dikenal sebagai Oriental Circus.
“ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
Seiring berjalannya waktu, Tony menilai bahwa performa tim sirkus di bawah naungan OCI tidak cukup maksimal.
Akhirnya, orangtua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
“Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” kata Tony.
Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
“Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” kata Tony.
Namun, ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras merupakan hal yang wajar bila melihat kultur sosial pada tahun tersebut. Ia pun mengklaim turut merasakan hal serupa.
“Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan konteksual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja,” ujarnya.
“Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi konteksual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
 
Walaupun ada pendisiplinan keras, Tony membantah, pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
Namun ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
“Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan mereka hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
“Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
Di balik itu semua, Tony menilai ada sosok yang memiliki peran inti yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya. Hanya saja, karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
“Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
Namun berbeda dengan “aktor” yang berada di balik tuduhan tersebut.
“Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” kata Tony.
Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
“Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
 
Tony mengaku sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun belum sempat bertemu langsung dengan para korban.
“Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
“Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” tegas Barata.
Barata juga menilai ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik yang seharusnya tidak terkait.
“Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” tandasnya.
Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
“Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
“Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
 
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, mengatakan, di awal tahun pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Sebelumnya, para mantan pemain sirkus OCI, sempat melaporkan dugaan
pelanggaran HAM
berat yang dialami kepada Komnas HAM pada tahun 1997, atau tepat 28 tahun yang lalu.
Sayangnya, kasus ini nyatanya tidak terselesaikan hingga saat ini.
“Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
Dia mengatakan, saat itu Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia.
Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
“Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
“Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.