Premanisme Bersenjata di Kemang: Krisis Keamanan Ruang Publik
Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.
AKSI
premanisme
kembali terjadi. Kini, terjadi di Kemang Raya, Jakarta Selatan, dalam peristiwa bentrokan terkait sengketa kepemilikan lahan.
Bentrokan tersebut terjadi pada Rabu, 30 April 2025. Dalam video yang viral di media sosial, publik menyoroti penggunaan senjata laras panjang oleh salah satu kelompok.
Kelompok yang berada di jalanan terlihat mengeluarkan sejumlah senjata laras panjang dari dalam mobil dan mengarahkan kepada kubu lainnya. Sementara itu, kubu di balik tembok bangunan terlihat melempar benda ke arah lawan.
Kawasan Kemang bukan daerah konflik. Kemang merupakan kawasan urban ‘elite’ di Ibu Kota yang lokasinya relatif tak jauh dari Mabes Polri.
Jika para preman bisa memamerkan senjata tanpa gentar, lantas hukum macam apa yang masih bisa dibanggakan?
Fenomena ini bukan sekadar insiden. Ia adalah indikator kerusakan yang lebih dalam, yaitu premanisme bersenjata yang menunggangi kekosongan atau tumpulnya fungsi negara.
Sekali lagi saya mempertegas, bentrokan itu terjadi di jantung Ibu Kota, kawasan yang hanya berjarak kurang dari 5 kilometer dari Mabes Polri.
Bila di dekat institusi tertinggi penegakan hukum saja situasi sebrutal itu bisa terjadi, maka bagaimana rawannya keamanan masyarakat di wilayah-wilayah yang jauh dari sorotan pusat?
Negara hukum dalam doktrin dan praktiknya memiliki tanggung jawab untuk memastikan supremasi hukum (
rule of law
), menjamin ketertiban, dan melindungi warganya dari kekerasan, termasuk apapun bentuk premanisme.
Namun, insiden Kemang justru menyodorkan realitas ketidakhadiran aparat dalam merespons potensi konflik, keterlambatan dalam tindakan, dan kemunduran fungsi negara sebagai penyedia rasa aman dan nyaman.
Kalau kita masih teguh sebagai negara yang menyandang status sebagai
rechtsstaat
(negara hukum), apapun praktik premanisme, apalagi menggunakan senjata larang panjang, maka seharusnya adalah ‘zero tolerance’.
Jangan sampai, fungsi-fungsi negara hanya tampak secara simbolik dan seremonial, tetapi kehilangan daya kendali atas monopoli kekerasan yang seharusnya menjadi hak eksklusifnya.
Premanisme
bersenjata di ruang publik adalah bentuk delegitimasi negara. Ketika kelompok preman tampil dominan dengan simbol-simbol kekuatan koersif seperti menggunakan senjata, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman langsung terhadap kedaulatan hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Masyarakat yang lalu-lalang di sekitar lokasi kejadian tentu bukan hanya terpapar bahaya fisik, tapi juga trauma sosial.
Mereka menyaksikan langsung kekacauan yang mengikis rasa aman sebagai Hak Asasi Manusia yang seharusnya dilindungi negara.
Bila negara gagal memberikan jaminan atas hak dasar tersebut, lantas kepada siapa masyarakat harus menggantungkan harapannya?
Jika masyarakat di kawasan elit ibu kota saja sudah harus mempertaruhkan nyawa untuk sekadar melintas di jalan publik, maka bagaimana dengan masyarakat di daerah terpencil yang tidak tersorot kamera dan tidak mendapat perhatian media?
Premanisme tidak datang dengan sendirinya. Di tengah kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, dan minimnya akses kerja yang layak, premanisme menjadi jalan pintas untuk bertahan hidup.
Ketika negara gagal menciptakan sistem yang adil dan inklusif, maka sebagian masyarakat akan mencari ‘sesuap nasi’ demi bertahan hidup, dengan caranya yang diyakini benar dan instan. Mereka akhirnya mengangkat senjata dan merampas ruang publik.
Oleh sebab itu, menyikapi premanisme tidak cukup hanya dengan pendekatan represif. Negara perlu mengidentifikasi akar sosiologis dan ekonomis dari munculnya jaringan kekerasan sipil ini.
Namun, satu hal yang tidak bisa ditawar adalah negara tidak boleh berkompromi dengan penggunaan kekerasan, baik oleh aparat negara hingga aktor non-negara.
Zero tolerance
adalah prinsip mutlak dalam negara hukum. Penegakan hukum tidak boleh selektif. Hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak boleh hanya mengayomi dan memberikan rasa aman pada elite dan penguasa, sementara rakyat kecil dibiarkan hidup dalam ketakutan.
Premanisme adalah bentuk lain dari kriminalitas yang bersumber dari ketimpangan dan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan.
Negara wajib hadir, tidak hanya sebagai penjaga ‘status quo’, tetapi sebagai pelindung seluruh rakyatnya. Bila tidak, maka gelar ‘negara hukum’, tak lebih dari sekadar retorika kosong yang tidak lagi bermakna di mata rakyat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/04/30/6811fd12c6086.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)