8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) tak kalah memicu polemik besar di kalangan masyarakat.

Belum kering ‘luka’ pengesahan UU TNI dibuktikan dengan masih banyaknya aksi unjuk rasa, kini muncul polemik RUU TNI. Apa saja pasal yang dinilai berbahaya?

Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR RI resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Sebagaimana pola pengesahan UU TNI, proses pembentukan RUU Polri juga dinilai terburu-buru. Bahkan aturan ini tidak termasuk dalam Prolegnas 2020-2024.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai revisi RUU ini justru akan melanggengkan impunitas dan menjauhkan Polri dari prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Polri, serta kurangnya pengawasan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

Kritik terhadap RUU ini semakin memperlihatkan adanya kebutuhan untuk desain yang lebih adil dan transparan dalam pengaturan institusi Polri.

Intinya, keputusan tersebut menuai kritik sebab substansi RUU dianggap akan menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang berlebihan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, yang dipublikasikan oleh PSHK, mengungkapkan bahwa RUU ini gagal merancang perbaikan fundamental di institusi Polri dan justru memperluas kekuasaan Polri secara tidak proporsional.

Berikut adalah rincian pasal-pasal dalam RUU yang menjadi kontroversi:

1. Pengawasan Ruang Siber

Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf q

RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan mengamankan ruang siber, termasuk penindakan, pemblokiran, atau perlambatan akses.

Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi warga di dunia digital.

“Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” demikian bunyi laporan PSHK, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

2. Penggalangan Intelijen oleh Polri

Sorotan: Pasal 16A dan 16B

Polri diberi kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen, yang berpotensi disalahgunakan karena tidak ada definisi jelas mengenai “kepentingan nasional”.

Selain itu, Polri juga dapat memeriksa aliran dana dan meminta bahan keterangan dari kementerian dan lembaga lain, yang bisa tumpang tindih dengan lembaga seperti BIN dan PPATK.

3. Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin

Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf o

Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme perizinan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib meminta izin dari Dewan Pengawas. Hal ini dikhawatirkan bisa membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.

4. Intervensi terhadap Penyidikan Lembaga Lain

Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf n, o, dan p.

Polri diberi kewenangan untuk membina teknis PPNS dan penyidik lembaga lain, termasuk KPK, serta memberikan petunjuk dan rekomendasi dalam penyidikan. Ini berpotensi melemahkan independensi lembaga seperti KPK.

5. Penguatan Pam Swakarsa

Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g

RUU ini mengatur pembinaan pengamanan swakarsa oleh Polri, yang dikhawatirkan bisa membuka ruang bagi komersialisasi keamanan dan represifitas sipil, mengingat sejarah kelam Pam Swakarsa di masa lalu.

6. Perpanjangan Usia Pensiun

Sorotan: Pasal 30 Ayat 2 dan 3

Pasal ini menetapkan usia pensiun anggota Polri hingga 60 tahun, dan 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus, bahkan bisa mencapai 65 tahun untuk pejabat fungsional.

Hal ini dinilai memperlambat regenerasi di internal Polri dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi.

7. Kewenangan Hukum Nasional dan Smart City

Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf e dan Ayat 2 Huruf c

Polri diberi tugas untuk turut serta dalam pembinaan hukum nasional, yang berpotensi tumpang tindih dengan tugas BPHN.

Selain itu, Polri juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan smart city bersama pemerintah pusat dan daerah, yang dinilai lebih mengutamakan pendekatan keamanan.

8. Minimnya Mekanisme Pengawasan

Sorotan: Pasal 35 hingga Pasal 39

RUU ini tidak secara tegas memperkuat mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri.

Dalam Pasal 35 hingga Pasal 39, peran Komisi Kode Etik dan Kompolnas disebut namun tetap diatur lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Kepolisian.

Kedua dasar hukum itu dianggap tidak efektif dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. ***

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News