Mengenang Ervan Hardoko, Canda Tawa dan Warna di Perjalanan 30 Tahun Kompas.com
Penulis
SERATUS
tiga puluh tahun berlalu sejak HG Wells memperkenalkan mesin waktu lewat novelnya,
The Time Machine
(1895). Namun, hingga detik ini tidak ada satu pun manusia yang mampu melintasi waktu, pun sekadar lintang pukang tanpa kurun tertentu.
Meski begitu, mengutip Wells, tiap kita menyimpan mesin waktunya masing-masing. Memori dan kenangan bisa membawa kita ke masa lalu, serta impian yang mengarung ke masa depan.
Sebuah posting di Facebook pun bisa berubah jadi mesin waktu. Ini terjadi saat saya melihat foto anak laki-laki yang terakhir bertemu beberapa tahun lalu, berpose dalam jas dan dasi saat mengikuti pelepasan atau wisuda SMK.
Saya pun menghitung, ternyata sudah enam tahun berlalu sejak kami kehilangan rekan dan teman baik di ruang redaksi
Kompas.com.
Enam tahun sudah Ervan Hardoko, bapak dari anak laki-laki yang wisuda SMK itu, tutup usia.
Ervan Hardoko, yang biasa saya panggil Mas Koko, meninggal dunia 8 Agustus 2019 saat berusia 45 tahun. Dia meninggalkan istri dan seorang anak yang saat itu baru masuk SMP. Empat puluh lima tahun, usia yang terbilang muda bagi manusia.
Mas Koko meninggal setelah berjuang melawan penyakit ginjal yang baru disadari delapan bulan terakhir dalam hidupnya.
Setelah libur Natal dan Tahun Baru, dia dirawat di rumah sakit. Dia tidak berpikir sakitnya serius karena masih berpikir bisa mengubah jadwal kereta dan segera berkantor di Solo seperti biasa.
Kabar buruk pun datang. Dokter mengindikasikan ginjalnya bermasalah dan perlu pemeriksaan laboratorium.
Saya agak lupa seperti apa hasilnya, tetapi fungsi ginjalnya tidak baik. Kalau enggak salah ingat, fungsi ginjal Mas Koko di bawah 10 persen. Ini berarti Mas Koko harus rutin cuci darah, membatasi makan dan minum karena ginjalnya tidak lagi bisa bekerja keras seperti biasa.
Pada masa-masa awal menjalani cuci darah, Mas Koko belum bisa balik ke Solo. Saat
Kompas.com
membentuk tim redaksi yang berkantor di Solo, dia memang ditunjuk sebagai kepala kantor.
Mas Koko cukup antusias menerima penugasan itu karena orangtuanya tinggal di Salatiga. Jarak Solo ke Salatiga yang bisa ditempuh dengan perjalanan 1 jam bermotor salah satu alasan dia menerima penugasan ini.
Dia bahkan berpikir untuk memindahkan anak dan istrinya ke Solo. Namun, rencana ini ditunda hingga Avinko, anak laki-lakinya, lulus SD. Banyak sekolah bagus di Solo yang biayanya terjangkau, apalagi jika dibandingkan sekolah-sekolah di Kelapa Gading, tempat dia tinggal di Jakarta.
Dalam banyak obrolan tentang masa depan, Avinko memang selalu dalam perencanaannya.
He was a true family man.
Kami yang berkantor di Solo sudah paham kalau
handphone-
nya berdering saat sore atau malam, itu adalah waktu bagi Mas Koko membantu Avinko mengerjakan PR.
Urusan sekolah merupakan hal penting, dan Mas Koko tidak ingin absen mendampingi anaknya, meskipun terpaut jarak lebih dari 500 kilometer.
Mas Koko juga seorang suami penyayang. Ada kejadian yang saya ingat dalam suatu rapat kerja redaksi
Kompas.com,
setelah jadwal
meeting
yang panjang kami melepas penat dengan bernyanyi dan bermain gitar layaknya di tongkrongan.
Setelah tiga atau empat lagu The Beatles kami nyanyikan, celetuknya membuat kami terdiam: “Duh, gue kangen bini gue nih”.
Saat dunia rumah tangga penuh drama perselingkuhan, orang-orang seperti Mas Koko yang akan membuat kita sadar bahwa kesetiaan itu masih ada.
Setelah dinyatakan ginjalnya bermasalah, yang dia pikirkan juga soal keluarga.
Saya masih ingat, semangatnya muncul untuk terus bertahan hidup termasuk bergabung dengan grup WhatsApp para penyintas cuci darah.
“Di situ (grup WhatsApp) ada juga yang sudah belasan tahun masih bertahan. Meskipun tetap rutin cuci darah ya. Kalau belasan tahun gue masih hidup, berarti gue masih bisa lihat anak gue lulus kuliah,” kata Mas Koko, sewaktu saya menjenguknya di rumah Kelapa Gading.
Masa awal bekerja di
Kompas.com,
meja kerja saya berhadap-hadapan dengan Mas Koko. Karakternya yang
easy going
memang membuat dia gampang berteman dengan siapa saja.
Meski usia terpaut lebih dari lima tahun, mungkin karena
joke-joke
lawas dan perbincangan bergaya “mati ketawa ala Orba”-lah yang membuat kami akrab.
Entah dari mana munculnya inspirasi itu, tetapi selalu terselip nama-nama pejabat Orde Baru dalam guyonan kami. Nama-nama seperti Radius Prawiro, Syarwan Hamid, juga Joop Ave kerap terselip dalam perbincangan, yang tentunya tidak pernah terlalu serius.
Nama Ervan Hardoko juga dikenal sebagai jurnalis yang bergelut di berbagai bidang, terutama isu internasional. Pengalamannya bekerja di
BBC Indonesia
membuatnya mumpuni saat ditunjuk menjadi pengampu desk internasional.
Akan tetapi, tentu saja karakter Mas Koko yang menganut paham
“why so serious?”
ala Joker membuat desk internasional di
Kompas.com
penuh warna.
Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di dunia, selalu ada saja artikel yang membuat kita tersenyum saat membaca.
Atau hal menarik lain, entah mengapa dia sangat tertarik dengan Zimbabwe atau mantan presidennya, Robert Mugabe. Ada saja berita Robert Mugabe yang dia temukan, lalu ditulisnya, dan membuat kita yang membaca jadi tersenyum.
Saking tertariknya dengan Zimbabwe, dia bahkan menyimpan uang kertas Zimbabwe senilai 20 milliar dollar. Uang kertas itu memang ada karena Zimbabwe mengalami hiperinflasi yang membuat nilai mata uangnya sangat jatuh.
Satu lagi yang menjadi karakter desk internasional saat diampu Mas Koko adalah “Hari Ini dalam Sejarah”. Dia selalu konsisten menulis peristiwa menarik yang ada dalam sejarah dunia.
Karakternya memang menyenangkan dan membuat kita yang berada di dekatnya tertawa. Saat saya kemudian diminta untuk menenami Mas Koko bertugas di Solo untuk memegang rubrik viral di media sosial dan cek fakta, kami sepakat untuk membuat suasana kantor menyenangkan.
“Kami” di sini tidak hanya saya dan Mas Koko, tetapi juga Inggried yang juga ditunjuk kantor untuk mengembangkan tim
Kompas.com
di Solo.
Dalam hal pekerjaan, kami meminta para reporter untuk serius dan teguh dalam memegang prinsip dan kode etik jurnalistik. Kami tegas dalam hal verifikasi, serta menerapkan disiplin dan bertanggung jawab terhadap tugas yang dikerjakan.
Meski begitu, kami tidak berupaya membatasi obrolan atau aktivitas kami di kantor sekadar urusan pekerjaan.
Sebab, ide-ide tulisan atau program kerja yang berbasis kreativitas tidak akan bisa hadir dari rutinitas. Kreativitas tidak akan muncul dari suasana pekerjaan yang tidak menyenangkan, apalagi jika hanya dipaksa untuk memburu angka.
Mas Koko mengingatkan kami bahwa kreativitas di ruang redaksi bisa muncul dari obrolan guyon di meja panjang kantin atau bangku bundar di taman, bukan cuma dari ruang rapat.
Ide segar akan hadir dalam suasana menyenangkan, dan tidak akan pernah lahir dalam keadaan tertekan.
Selamat beristirahat, Mas Koko. Terima kasih telah menjadi bagian dari 30 tahun perjalanan
Kompas.com.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
8 Mengenang Ervan Hardoko, Canda Tawa dan Warna di Perjalanan 30 Tahun Kompas.com Megapolitan
/data/photo/2025/09/14/68c65a2f50524.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)