8 Jalan Terjal Pencari Kerja Berpengalaman… Megapolitan

8
                    
                        Jalan Terjal Pencari Kerja Berpengalaman…
                        Megapolitan

Jalan Terjal Pencari Kerja Berpengalaman…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah keriuhan Jakarta Job Fest 2025 di Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025), seorang pria berkemeja biru duduk di lantai dekat pintu keluar.
Tangannya memangku tas dan totebag hijau, sementara matanya menatap layar ponsel.
Pria itu adalah Agung (35), mantan pekerja perbankan yang selama enam bulan terakhir berjuang mencari kerja.
Agung tersenyum getir saat menceritakan perjuangannya untuk mencari pekerjaan. Banyak rintangan yang harus ia lalui mulai dari batas usia, penampilan hingga keterampilan bermedia sosial.
Agung sering kali menerima kenyataan pahit bahwa batas usia menjadi penghalang terbesarnya mencari pekerjaan baru.
“Biasanya tuh karena umur. Terus habis itu (perusahaan) nyarinya banyakan yang fresh graduate (lulusan baru),” ungkap Agung kepada Kompas.com, Selasa (4/11/2025).
Setiap lamaran yang dikirim, ia terhalang dengan batas usia 25 tahun. Batas usia maksimal itu bagai pagar tak terlihat yang memisahkannya dari pekerjaan.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti faktor penampilan yang kerap menjadi pertimbangan terselubung dalam proses merekrut pelamar kerja.
Dalam dunia kerja yang semakin visual, pengalaman matang kalah bersaing dengan tren perekrutan yang mengedepankan penampilan dan kemampuan digital.
“Tapi juga dilihat dari look-nya gitu. Jadi nyarinya ya, satu umur, kedua good looking,” ucapnya.
Pria 35 tahun itu bagai terperangkap dalam labirin persyaratan kerja yang semakin sempit.
Di ruang pamer yang dipenuhi booth perusahaan, Agung menyadari sebuah perubahan yang tak terelakkan.
Kemampuan mengelola TikTok dan Instagram kini menjadi salah satu yang dibutuhkan perusahaan daripada pengalaman kerja bertahun-tahun.
“Mereka mencari yang anak-anak muda yang medsos ya, jadi dicarinya yang bisa TikTok atau yang bisa Instagram,” ujarnya.
Agung menyadari, dirinya kini berada di persimpangan zaman. Pengalamannya yang selama ini dibanggakan seakan hilang nilainya di hadapan tren baru.
Bukan lagi soal seberapa dalam pemahaman tentang produk keuangan, melainkan seberapa mahir mengelola feed Instagram atau menciptakan challenge di TikTok.
Namun, dalam keprihatinannya, terselip sebuah tekad. Ia memilih untuk beradaptasi dan belajar mengikuti kebutuhan industri, sekaligus tetap menonjolkan keunggulan sebagai pekerja berpengalaman.
“Kami yang senior-senior bisa kok belajar sama yang muda,” katanya.
Agung mengamati tren yang mencemaskan dalam dunia rekrutmen. Mantan pekerja di bidang perbankan ini menyoroti dominasi sistem outsourcing dan kontrak dalam lowongan kerja yang tersedia di Indonesia.
“Cuman di Indonesia ini tuh banyaknya yang dicari sekarang mungkin perusahaan-perusahaan itu ya outsourcing atau enggak kontrak gitu,” ujar Agung.
Menurutnya, sistem outsourcing tidak memberikan kepastian bagi pekerja. Ia menggambarkan betapa mudahnya hubungan kerja putus bila karyawan dianggap tidak memenuhi kualifikasi.
Masa percobaan yang singkat, umumnya tiga bulan, menjadi penentu nasib tanpa jaminan kelangsungan kerja.
Meski memahami kebutuhan perusahaan akan fleksibilitas, Agung berharap ada keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan hak-hak pekerja.
Perusahaan-perusahaan besar dan mapan seharusnya lebih memprioritaskan sistem karyawan tetap.
“Jadi kalau misalkan enggak qualified langsung putus gitu. Jadi ya dilihat kayak-kayak cuman setahun, 6 bulan setahun, gitu. Nanti diputus,” keluhnya.
Bagi Agung, dominasi sistem outsourcing bukan sekadar persoalan lapangan kerja, melainkan pertaruhan masa depan dan stabilitas hidup.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.