7 Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara Nasional

7
                    
                        Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara
                        Nasional

Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Akademisi dan pakar hukum tata negara Refly Harun bersama sejumlah tokoh masyarakat sipil melakukan
walk out
dari audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Keputusan itu dipicu larangan terhadap tiga peserta yang tengah berstatus tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Dr. Tifa), atau yang mereka sebut sebagai kelompok RRT, untuk berbicara dalam forum tersebut.
Refly menjelaskan bahwa pihak panitia sejak awal telah mengundang dirinya dan 18 nama lain yang diajukan kelompok masyarakat sipil.
Namun, menjelang pelaksanaan audiensi, muncul keberatan dari anggota Komisi Reformasi, salah satunya mantan Kapolri Jenderal (Purn) Idham Azis, terkait kehadiran peserta yang berstatus tersangka.
“Memang kami
walk out
karena kan ada 18 orang yang tertera dalam undangan yang kami ajukan. Ini mereka mengundang kita,
Refly Harun
dan kawan-kawan, kemudian ada 18 orang yang namanya dicatatkan untuk diundang. Dan rupanya ada keberatan dari tim, yang diperkuat mantan Kapolri Idham Azis yang mengatakan kalau tersangka tidak boleh ikut, opsinya keluar,” kata Refly saat ditemui di PTIK, Rabu.
Ia menegaskan bahwa kelompoknya memilih meninggalkan ruang audiensi sebagai bentuk solidaritas apabila RRT diminta keluar.
Sejumlah tokoh ikut keluar dari forum bersama Refly, termasuk Said Didu, Rizal Fadila, dan Aziz Yanuar.
Menurut Refly, panitia memberi dua opsi kepada Roy Suryo, Rismon, dan Dr. Tifa, yakni tetap berada dalam ruangan tetapi dilarang berbicara, atau keluar dari forum.
Namun, RRT memilih opsi terakhir.
“Mayoritas ya, memilih keluar. Karena mereka memilih keluar, kita sebelum masuk sudah solidaritas. Kalau RRT keluar, kita juga keluar,” ungkap Refly.
Dalam kesempatan yang sama, Roy Suryo membenarkan bahwa dirinya dan dua rekannya ikut hadir atas undangan pribadi dari Refly.
Roy membenarkan adanya opsi untuk tetap berada di ruangan tanpa bicara, tetapi mereka memilih
walk out
setelah berdiskusi internal.
“Tadi kami diberikan pilihan oleh Prof. Jimly untuk tetap duduk di dalam, tapi kemudian tidak boleh bicara atau keluar. Nah, karena pilihan itu, maka kami sepakat (keluar),” tutur Roy.
Roy juga menegaskan bahwa Refly hadir bukan sebagai kuasa hukum, melainkan sahabat yang mewakili kelompok masyarakat sipil.
Refly mengungkapkan bahwa pertemuan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri berawal dari diskusi pada 13 November, sehari sebelum RRT menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.
Dalam diskusi itu, sejumlah tokoh masyarakat sipil menilai kasus yang menjerat RRT sarat kriminalisasi terhadap kritik dan perbedaan pendapat. Mereka sepakat meminta perhatian
Komisi Reformasi Polri
.
“Saya berinisiatif pada waktu itu tanpa disuruh, me-WA dan menelpon Pak Jimly (Ketua Komisi Jimly Asshiddiqie) atau langsung menelpon, kurang lebih begitu. Pak Jimly menyambut baik untuk tim ini diundang,” kata Refly.
Nama-nama peserta pun diajukan melalui staf Komisi, meski pada awalnya RRT belum disertakan.
Setelah jadwal ditetapkan, Refly meminta agar ketiganya ikut hadir.
Namun, satu hari sebelum audiensi, Ketua Komisi Jimly Asshiddiqie mengirim pesan bahwa RRT tidak diperbolehkan masuk sebagai peserta karena status tersangka.
“Saya sengaja tidak kasih tahu mereka (RRT) karena saya menganggap, ini apa-apaan.
Ini kan lembaga aspirasi. Masa belum apa-apa sudah menghukum orang? Status tersangka itu, itu kan belum bersalah,” ungkap Refly.
Ia menilai kasus-kasus yang menjerat RRT relevan untuk dibahas dalam konteks reformasi Polri, terlebih menyangkut isu kriminalisasi terhadap kritik publik.
“Keyakinan kita adalah kasus ini adalah kriminalisasi, karena itu saya kira layak untuk didiskusikan, disampaikan aspirasinya kepada pihak kepolisian,” ujarnya.
Ia mempertanyakan mengapa, di tengah desakan publik agar Polri berbenah, masih ada perkara yang dianggap menjerat warga hanya karena pendapat atau hasil penelitian.
“Negara yang mentersangkakan atau mempidanakan orang berpendapat apalagi dengan penelitian dan lain sebagainya, itu negara yang demokrasinya sontoloyo. Nah Indonesia kan tidak ingin seperti itu harusnya, Indonesia haeus naik kelas menjadi negara demokrasi yang substantif,” terangnya.
Menanggapi insiden
walk out
, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menyatakan menghormati sikap Refly dan kawan-kawan.
“Saya sebagai ketua komisi menghargai sikap dari Refly Harun. Itu aktifis sejati mesti gitu, dia tegas,” kata Jimly dalam konferensi pers di PTIK, Rabu.
Namun, ia menegaskan bahwa forum tersebut telah menyepakati bahwa tersangka tidak boleh menjadi peserta aktif.
“Tapi kita juga mesti menghargai juga bahwa forum ini telah sepakat yang tersangka jangan, walaupun aspirasi tetap kita dengar kita bicarakan,” tegas Jimly.
Polisi sebelumnya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka kasus tudingan ijazah palsu Jokowi pada Jumat (7/11/2025).
Mereka dibagi dalam dua klaster:
Klaster pertama yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis.
Klaster kedua yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Dr. Tifa).
“Berdasarkan hasil penyidikan kami bagi dalam dua klaster, antara lain lima tersangka klaster pertama yang terdiri atas RS, KTR, MRF, RE, dan DHL. Klaster kedua RS, RHS, dan TT,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dalam konferensi pers di gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.