7 UMP Jakarta Hanya Sepertiga dari Biaya Hidup Layak Rumah Tangga Ibu Kota Megapolitan

7
                    
                        UMP Jakarta Hanya Sepertiga dari Biaya Hidup Layak Rumah Tangga Ibu Kota
                        Megapolitan

UMP Jakarta Hanya Sepertiga dari Biaya Hidup Layak Rumah Tangga Ibu Kota
Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com –
 Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang berada di kisaran Rp 5,3 jutaan per bulan kian dipertanyakan relevansinya dengan realitas biaya hidup di Ibu Kota.
Pasalnya, Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan biaya hidup rata-rata rumah tangga di Jakarta dapat mencapai sekitar Rp 14,8 juta per bulan.
Biaya hidup sekitar Rp 14,88 juta per bulan bersumber dari Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 BPS, yang mengukur rata-rata biaya konsumsi rumah tangga per bulan di Jakarta yang terdiri dari 2-6 anggota keluarga.
Perhitungan mencakup seluruh komponen konsumsi barang dan jasa, baik makanan maupun non-makanan, termasuk perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya.
Bagi banyak pekerja, khususnya
pekerja muda
, penghasilan setara UMP bukan lagi alat untuk merencanakan masa depan, melainkan sekadar sarana bertahan dari satu gajian ke gajian berikutnya.
Tekanan biaya hidup yang tinggi membuat keputusan besar seperti menikah, menabung, hingga membangun keluarga terasa semakin jauh.
Kondisi ini memperlihatkan jurang antara standar upah minimum dan kebutuhan hidup layak rumah tangga Jakarta.
Perencana keuangan Rista Zwestika CFP WMI menilai, secara nominal UMP DKI Jakarta 2025 sekitar Rp 5,39 juta per bulan memang terlihat tinggi, tetapi belum mencerminkan kebutuhan hidup riil.
“Untuk pekerja lajang dengan pengeluaran sangat hemat mungkin masih bisa ‘bertahan’, tapi dengan kompromi besar,” kata Rista.
Ia menjelaskan, dalam kondisi ideal sekalipun, pekerja bergaji Rp 5 juta per bulan hanya memiliki ruang sangat terbatas untuk tabungan dan dana darurat.
Fenomena hidup dari gaji ke gaji, kerja ganda, hingga ketergantungan pinjaman konsumtif kerap ditemuinya pada klien bergaji UMP.
“Jika pengeluaran bulanan Rp 5 juta, dana darurat minimal enam kali untuk single, sembilan kali untuk menikah, dan 12 kali untuk menikah punya anak,” ujar dia.
Setiap akhir bulan, Putri Lestari (25) sudah terbiasa membuka aplikasi perbankan untuk menghitung sisa saldo sebelum menyesuaikan pengeluaran hingga gajian berikutnya.
Bekerja sebagai admin media sosial di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Putri menerima gaji sekitar Rp 5,4 juta per bulan, setara
UMP Jakarta
.
Dengan penghasilan tersebut, ia harus membagi pendapatan untuk biaya kos, makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya.
Hampir tidak ada ruang untuk kesalahan dalam perencanaan keuangan Putri. Satu kebutuhan mendadak saja bisa membuat keuangannya berantakan.
Dalam kondisi seperti ini, menikah bukan sesuatu yang ia bayangkan dalam waktu dekat.
“Hidup di Jakarta itu butuh ekonomi yang stabil. Sementara dengan kondisi sekarang saya merasa belum siap. Itu juga yang bikin saya memilih fokus kerja dulu dan belum kepikiran menikah,” ujar Putri.
Bagi Putri, ketakutan menikah bukan berkaitan dengan komitmen emosional, melainkan tanggung jawab finansial.
Menghidupi diri sendiri saja masih terasa berat, apalagi jika harus berbagi hidup dengan pasangan, bahkan anak di kemudian hari.
Sebagian besar gajinya habis untuk kos sebesar Rp 1,5 juta per bulan, transportasi Rp 500.000–Rp 700.000, serta makan dan kebutuhan harian. Menabung masih bisa dilakukan, tetapi jumlahnya kecil dan tidak konsisten.
“Kadang niat nabung, tapi begitu ada kebutuhan tak terduga, tabungan langsung kepakai,” kata dia.
Menjelang tanggal gajian, Putri mengaku harus lebih selektif membeli makanan dan menahan pengeluaran. Hiburan dan rencana masa depan menjadi hal pertama yang dikorbankan.
Kondisi serupa dialami Ria (27), pegawai swasta di Jakarta Pusat dengan gaji sekitar Rp 5,6 juta per bulan. Meski sedikit di atas UMP, ia tetap merasa hidupnya jauh dari kata layak.
“Setiap bulan gaji terasa habis sebelum waktunya. Gaji UMP dan mandiri dengan uang tersebut saja masih kurang apalagi berumah tangga,” kata Ria.
Tekanan finansial tersebut memengaruhi pandangannya terhadap relasi dan pernikahan.
“Saya tahu kalau soal usia pasti saya sendiri sudah bisa menikah, namun menikah bukan soal usia tapi uang nya ada atau tidak kedepannya bagaimana,” tutur Ria.
Saat ini, fokus utamanya adalah bertahan dan mengamankan tabungan, bukan membangun keluarga.
“Ya sekarang fokus sama diri sendiri, kalau masih bergaji UMP atau pas pasan ya saya sadar diri juga,” ucapnya.
Psikolog Klinis dan Direktur Personal Growth, Ratih Ibrahim, menilai ketakutan menikah akibat kondisi ekonomi yang tidak stabil sebagai sesuatu yang manusiawi.
“Ya. Kan takut juga jika untuk hidup sendiri saja struggling, bagaimana ketika harus bertanggung jawab atas orang lain (pasangan), dan jika kemudian punya anak,” ujar Ratih.
Menurut Ratih, kondisi finansial yang rapuh dapat menggerus kesiapan mental seseorang untuk menikah.
Ketika kebutuhan dasar belum sepenuhnya aman, manusia secara alami akan memprioritaskan bertahan hidup dibanding membangun relasi jangka panjang.
Ia menegaskan bahwa rasa takut menikah karena faktor ekonomi bukan bentuk kegagalan pribadi.
“Ya. Sangat wajar. Dan artinya dia ada pertimbangan sadar juga,” kata Ratih.
Meski demikian, Ratih mengingatkan tekanan ekonomi berkepanjangan tetap menyisakan dampak jangka panjang bagi kesehatan mental generasi muda.
“Adakah dampak jangka panjang tekanan ekonomi terhadap kesehatan mental orang muda? Jelas ada,” ujarnya.
Dampaknya dapat berupa kecemasan, frustrasi, hingga keputusasaan, meski sebagian individu justru berkembang menjadi lebih tangguh.
“Ada yang terpuruk, tapi ada juga yang justru jadi resilient. Tetap tabah. Seberat dan membingungkan apa pun tetap move on, karena pilihannya cuma itu. Ada juga yang justru tertantang daya kreatifnya untuk menciptakan lapangan usaha baru,” kata Ratih.
Pengamat ekonomi sekaligus Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menilai UMR Jakarta di kisaran Rp 5 jutaan belum sepenuhnya mencerminkan standar hidup layak kota metropolitan.
“UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum bertahan hidup, bukan jaminan hidup layak,” ujar Rizal.
Ia menjelaskan, struktur biaya hidup Jakarta didominasi pengeluaran non-makanan seperti perumahan dan transportasi yang sulit dikompresi.
Kenaikan kecil pada pos tersebut langsung menggerus sisa pendapatan pekerja. Akibatnya, kenaikan UMR kerap habis untuk menutup inflasi biaya hidup, bukan meningkatkan kesejahteraan.
Dalam jangka panjang, Rizal mengingatkan kondisi ini berisiko menurunkan produktivitas tenaga kerja dan memperlebar ketimpangan.
Jika mayoritas pekerja hidup dalam kondisi “cukup tetapi rapuh”, fondasi ekonomi kota menjadi tidak kokoh.
“Dalam jangka panjang, kota berisiko menjadi mahal namun tidak sejahtera, dengan pertumbuhan yang tidak inklusif,” kata Rizal.
Di tengah biaya hidup yang terus naik dan UMP yang cepat habis, banyak pekerja muda Jakarta hidup dari gaji ke gaji tanpa kepastian masa depan.
Dalam situasi tersebut, pernikahan tak lagi sekadar urusan hati, melainkan keputusan ekonomi besar dengan risiko yang terlalu mahal bagi mereka yang masih berjuang untuk bertahan.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian | Editor: Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.