Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di antara padatnya arus kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah bangunan megah yang seolah terjebak di masa lalu.
Pilar-pilar tinggi bergaya Korintus, patung marmer khas Italia, serta ukiran Eropa klasik kini kusam tertutup debu dan lumut.
Gedung itu adalah
Menara Saidah
, ikon arsitektur era 1990-an yang kini menjelma menjadi simbol stagnasi tata kota Jakarta.
Menara Saidah bukan sekadar gedung, melainkan monumen ambisi modernisasi Jakarta di penghujung dekade 1990-an.
Dibangun oleh PT Hutama Karya dan rampung pada 1998, menara ini menelan biaya sekitar Rp 50 miliar.
Awalnya bernama “Gracindo Building” dan dimiliki oleh Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu.
Kepemilikan gedung kemudian berpindah ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
Putranya, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran dengan menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti nama menjadi “Menara Saidah”, mengabadikan nama sang ibu.
Dikutip dari Arsip Harian
Kompas
(2 September 1999), gedung ini sempat menjadi kantor berbagai instansi penting, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Kala itu, Menara Saidah menjadi pusat aktivitas bisnis dan pemerintahan. Bahkan, acara pernikahan artis Inneke Koesherawati dan Fahmi Darmawansyah digelar di sini pada 2004.
Namun, di balik gemerlapnya, fondasi masalah mulai muncul.
Tahun 2007 menjadi titik balik. Satu per satu penyewa hengkang setelah beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat dan berisiko roboh.
Hingga kini, tak pernah ada pernyataan resmi dari pihak pemilik maupun Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) mengenai kondisi struktur tersebut.
Pihak pengelola PT Gamlindo Nusa membantah isu kemiringan. Mereka menegaskan bahwa pengosongan terjadi semata karena masa sewa
tenant
telah berakhir.
Namun, sejak saat itu, akses ke Menara Saidah ditutup total untuk umum.
Warga sekitar menyebut sempat ada renovasi kecil pada 2015, tetapi berhenti dua bulan kemudian. Rencana pemerintah untuk mengambil alih pada 2016 pun tak pernah terealisasi.
Kini, Menara Saidah hanya dijaga empat satpam, dikelilingi pagar seng berkarat setinggi dua meter bertuliskan besar “
Dilarang Masuk
”.
Menurut Kartika Andam Dewi, Ketua Sub Kelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (CKTRP) DKI Jakarta, hingga kini belum ada perkembangan berarti terkait status hukum, kondisi bangunan, maupun kepemilikannya.
“Sejauh ini belum ada
update
. Kalau tidak salah, satu atau dua tahun lalu sempat dibahas, tapi bukan di bawah kami. Sampai sekarang belum ada kabar terbaru lagi,” ujar Kartika kepada
Kompas.com
, Jumat (7/11/2025).
Ia menjelaskan, Menara Saidah masih terdaftar sebagai bangunan swasta, bukan aset Pemprov DKI.
Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pun kemungkinan sudah tidak berlaku karena bangunan tidak lagi digunakan.
“Karena tidak ada permohonan penggunaan kembali, kami belum melakukan pengecekan lapangan lagi. Pengawasan rutin dilakukan bergilir, dan Menara Saidah kemungkinan baru masuk jadwal pengecekan pada 2026,” lanjutnya.
Artinya, hingga kini tidak ada instansi pemerintah yang aktif memantau kondisi bangunan tersebut.
Data perizinan lama bahkan disebut telah “terkubur” dalam arsip yang belum dibuka kembali.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, kasus Menara Saidah mencerminkan kegagalan tata kelola aset di Jakarta.
“Masalah utamanya bukan sekadar bangunan miring atau tidak, tapi soal kepastian hukum dan tanggung jawab pengelolaan,” katanya.
Menurutnya, lokasi Menara Saidah yang strategis, diapit jalur LRT, KRL, dan TransJakarta, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai simpul transit atau kawasan hunian vertikal modern.
“Kalau direvitalisasi, bisa jadi pusat
co-housing
atau apartemen terjangkau bagi generasi muda yang membutuhkan akses transportasi publik,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan, langkah revitalisasi baru bisa dilakukan jika status kepemilikan dan kelayakan struktur bangunan telah jelas.
“Sebelum bicara pemanfaatan, harus
clear and clean
dulu. Apakah ada sengketa utang, piutang, atau korporasi yang belum selesai? Karena selama itu belum dituntaskan, pemerintah juga tidak bisa masuk,” tambah Yayat.
Penelusuran
Kompas.com
memperlihatkan kontras mencolok. Dari luar, Menara Saidah tampak gagah; tetapi di balik pagar seng pembatas, yang terlihat hanyalah puing, rumput liar, dan debu.
Lobi megah dengan enam pilar besar kini lusuh, catnya pudar, dan atapnya berlumut.
Patung-patung marmer Eropa klasik masih ada, dua bust laki-laki dan satu patung singa putih, kini tertutup debu tebal.
Lift tak berfungsi, kabel menggantung, dan tangga menuju lantai atas lembap serta gelap.
Menurut Juliadi (40), satpam yang menjaga sejak 2014, bangunan dijaga empat orang secara bergantian.
“Kami jaga biar enggak ada yang masuk sembarangan. Kadang ada anak muda atau mahasiswa penasaran mau lihat ke dalam. Tapi enggak boleh, bahaya,” katanya.
Selama 10 tahun bertugas, ia belum pernah melihat tinjauan resmi dari pemerintah.
“Pernah dengar mau direvitalisasi, tapi enggak jadi-jadi. Pemerintah juga belum pernah datang langsung ke sini,” ujarnya.
Di permukiman belakang menara, kehidupan berjalan biasa. Warga sudah terbiasa melihat gedung besar itu sebagai pemandangan sehari-hari, meski menyimpan rasa kecewa dan harapan.
Siti (45), pedagang nasi uduk, bercerita bagaimana ekonomi lesu setelah gedung itu kosong.
“Dulu waktu masih ramai, saya bisa jual dua panci nasi uduk, sekarang paling separuh,” ujarnya.
“Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin lagi kan enak, buat kantor pemerintah kek, atau pusat UMKM,” tambahnya.
Puji (29), pengemudi ojek
online
, menilai bangunan itu membuat kawasan tampak “setengah jadi.”
“Catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberangnya banyak gedung baru. Ini kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” katanya.
Tio (41), karyawan swasta, menyebut Menara Saidah sebagai “monumen kegagalan tata kota.”
“Waktu awal 2000-an, gedung ini kebanggaan. Sekarang dibiarkan kayak bangkai. Pemerintah kayak enggak tahu harus ngapain,” ujarnya.
Bagi Wati (60), warga lama di sekitar gedung, ketidakjelasan sudah berlangsung terlalu lama.
“Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang harus tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan aja begitu,” katanya.
“Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu, bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” imbuhnya.
Menara Saidah hanyalah satu dari puluhan gedung tidur di Jakarta yang belum tersentuh kebijakan revitalisasi.
Data Pemprov DKI pada 2024 mencatat sedikitnya 19 bangunan bertingkat tak lagi difungsikan, sebagian besar berada di koridor bisnis lama.
Namun, Menara Saidah menonjol karena letaknya strategis dan nilai historisnya tinggi.
Sayangnya, ketidakjelasan kepemilikan, sengketa bisnis, dan status hukum membuatnya mandek.
“Pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil alih karena ini milik swasta. Tapi di sisi lain, tidak ada pihak yang aktif menjaga agar tidak membahayakan,” kata Yayat Supriatna.
Fenomena ini menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan aset swasta yang mangkrak.
Banyak bangunan kosong luput dari prioritas, padahal berdampak besar terhadap estetika kota dan kehidupan sosial warga.
Kini, Menara Saidah bukan lagi menara bisnis, melainkan menara kenangan, saksi bisu laju pembangunan kota yang terus berjalan tanpa arah yang jelas. Di balik pagar sengnya, waktu seolah berhenti.
“Kalau bisa, jangan dibiarkan terus. Sayang, gedungnya bagus. Tapi sekarang cuma jadi cerita,” ujar Siti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
7 Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi Megapolitan
/data/photo/2025/11/07/690ddbb7b8971.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)