6 Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan Megapolitan

6
                    
                        Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan
                        Megapolitan

Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan
Tim Redaksi
BEKASI, KOMPAS.com –
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
Nusron Wahid
menyebut, Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II tidak mengedepankan prinsip kemanusiaan usai salah menggusur rumah warga bersertifikat di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Nusron menilai, pengadilan seharusnya mengedepankan prinsip kemanusiaan dengan tidak menggusur rumah warga secara sepihak.
“Harusnya kalau eksekusi pun juga harus menggunakan prinsip-prinsip kemanusiaan. (Ini) Tidak dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, main gusur gitu aja. Kan itu ada orangnya,” ujar Nusron saat mengunjungi lahan bersengketa di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jumat (7/2/2025).
Menurut Nusron, pengadilan salah prosedur saat menggusur kelima rumah warga milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR) itu.
Pasalnya, kelima rumah tersebut berada di luar lahan bersengketa seluas 3,6 hektar yang juga telah digusur pengadilan.
Nusron menjelaskan, terdapat tiga proses yang tak dijalankan oleh pengadilan dalam kasus ini.
Pertama, sebelum dilakukan penggusuran, pihak pengadilan seharusnya mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi.
Pengajuan ini merujuk amar putusan gugatan yang ternyata tidak ada perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah.
Karena tidak adanya amar tersebut, Nusron menegaskan, pengadilan harus mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN sebelum penggusuran dilakukan.
“Di dalam amar putusannya itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikatnya. Harusnya ada perintah dulu,” ungkap dia.
Kedua, Nusron mengatakan, pengadilan tetap berkewajiban berkirim surat kepada BPN untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan digusur.
Langkah ini diperlukan agar juru sita pengadilan mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.
Ketiga, pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan penggusuran.
Dari seluruh proses tersebut, kata Nusron, tak ada satu pun tahapan yang dilalui oleh pengadilan ketika penggusuran dilakukan.
“Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan,” imbuh dia.
Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa kelima pemilik rumah tetap sah menempati kediaman mereka, sekalipun sudah ada keputusan hukum.
“Beliau-beliau ini korban, kan yang konflik masa lalu, (mereka) enggak ngerti. Dia beli dari yang sah, keluar duit. Sikap kita terhadap ekseusi ini bagaimana? Pertama, sertifikat ini sah dan masih sah meskipun sudah ada putusan pengadilan,” imbuh dia.
Sebelumnya diberitakan, kelima rumah warga rata dengan tanah usai digusur pengadilan pada 30 Januari 2025.
Penggusuran merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 325 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
Belakangan diketahui, pengadilan salah menggusur kelima rumah warga tersebut yang notabene berada di luar obyek lahan seluas 3,6 hektar yang disengketakan.
Penyebab kesalahan ini diduga karena pengadilan melewati sejumlah prosedur yang semestinya dilaksanakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.