Pilkada Jakarta: Kode Keras Anies dan Prabowo
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: [email protected] – Instagram: @ikhsan_tualeka
MENDEKATI
hari pencoblosan, persaingan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta kian sengit, terutama antara pasangan calon Ridwan Kamil – Siswono dengan Pramono Anung – Rano Karno. Setidaknya itu ditunjukkan lewat survei dari sejumlah lembaga.
Pramono-Rano yang pada awal penetapan nomor urut pasangan calon oleh KPU Jakarta masih tertinggal secara popularitas maupun elektabilitas dari Ridwan Kamil-Siswono, kini pasangan calon itu terus naik.
Bahkan, hasil survei sejumlah lembaga menempatkan mereka di urutan teratas.
Litbang
Kompas,
misalnya, dalam survei yang digelar pada 20-25 Oktober 2024,
elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono sebesar 34,6 persen, sementara Pramono-Doel unggul tipis sebesar 38,3 persen.
Adapun calon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana 3,3 persen, sementara yang tidak menjawab atau belum memutuskan 23,8 persen. Adapun
margin of error
sebesar 2,9 persen.
Sementara survei terbaru yang digelar Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 31 Oktober-9 November 2024,
selisih elektabilitas kedua pasangan membesar.
Elektabilitas Pramono-Rano mencapai 46 persen. Angka itu terpaut nyaris 7 persen dari Ridwan Kami-Suswono sebesar 39,1 persen.
Sementara Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebesar 5,1 persen. Adapun
margin of error
2,9 persen.
Berdasarkan hasil survei,
Pilkada Jakarta
sejauh ini belum dapat dipastikan apakah akan berlangsung dalam satu atau dua putaran, mengingat belum ada kandidat yang elektabilitasnya lebih dari 50 persen. Fakta lain, masih tingginya
undesided voter
s atau pemilih bimbang.
Sehingga hasil akhir pada Pilkada Jakarta kali ini akan sangat ditentukan oleh strategi dan pendekatan politik yang jitu atau relevan di akhir masa kampanye, sampai jelang hari pencoblosan.
Dengan begitu, dapat mengubah keputusan pemilih di detik terakhir ‘last second decision’.
Ada sejumlah ceruk pemilih yang dapat terus dipersuasi dan bisa menjadi penentu kemenangan. Salah satu yang menjadi rebutan kontestan adalah para pemilih loyal
Anies Baswedan
, bekas gubernur Jakarta yang tidak dapat tiket maju Pilkada Jakarta.
Loyalis Anies yang kerap disebut ‘Anak Abah’ di antaranya masih menanti kemana Anies akan mengarahkan dukungan politiknya.
Itu artinya di mana Anies berlabuh, dapat turut memastikan siapa yang akan menang, atau setidaknya Pilkada Jakarta kali ini berlangsung satu atau dua putaran.
Sikap politik Anies boleh dikata dapat menjadi semacam
game changer
yang bisa mengubah peta persaingan, memastikan kemenangan pada salah satu kontestan.
Setidaknya sampai artikel ini ditulis, Anies belum secara terbuka menyatakan dukungannya. Sesuatu yang tentu dinanti, meski bisa jadi tak akan terjadi sampai di hari pemilihan.
Kendati demikian, dan sekalipun belum secara gamblang menyatakan dukungan lewat satu pernyataan politik, namun perjumpaan Anies dengan Pramono-Rano di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2024), menghadirkan impresi politik tersendiri.
Apalagi pertemuan itu kemudian diunggah di akun Instagram resmi
@aniesbaswedan
, dengan ‘quote’ yang mengesankan adanya sokongan politik. Anies menyebut pertemuan tersebut untuk membicarakan masa depan Jakarta.
“
Pagi ini, menyongsong terbitnya matahari, ngobrol soal kota Jakarta dan masa depannya dengan Mas @pramonoanungw dan Bang @si.rano di rumah. Ditemani lontong sayur dan kopi buatan @fery.farhati, bikin percakapan makin hangat dan menyenangkan
,” bunyi keterangan di unggahan itu.
Perjumpaan dengan gestur yang hangat di masa kampanye, kemudian dipublikasikan lewat akun pribadi, dan setelah itu diamplifikasi lewat berbagai kanal media terutama media sosial, membawa pesan politik simbolik yang kuat.
Menjadi semacam kode keras, yang dapat dibaca dan diinterpretasikan khalayak sebagai bentuk dukungan Anies kepada Pramono-Rano.
Komunikasi simbolik lewat kode keras ala Pramono-Rano dengan Anies sebenarnya juga dilakukan oleh calon gubernur Ridwan Kamil.
Makan malam Ridwan Kamil bersama
Prabowo Subianto
dengan kemeja warna senada baru-baru ini, kemudian foto-foto momen itu diunggah di media sosial Instagram
@prabowo
sejatinya juga adalah kode keras atau dukungan politik sang presiden.
Dalam akun media sosial Instagram pribadi Prabowo pada Jumat (10/10/2024), ada tiga foto yang diunggah, menunjukkan Prabowo sedang makan dengan Ridwan Kamil.
Melalui deskripsi unggahannya tertulis, ”
Makan malam dengan Kang Ridwan Kamil di Rumah Makan Garuda, Jalan Sabang, Jakarta Pusat
.”
Sementara itu, Ridwan Kamil dalam akun Instagram pribadinya
@ridwankamil
di waktu yang hampir bersamaan, juga mengunggah momen makan malamnya dengan Prabowo.
Pertemuan yang melibatkan dua kandidat gubernur dengan dua tokoh politik, tanpa ada pernyataan dukungan politik secara gamblang sejatinya merupakan (sebatas) kode keras sebagai komunikasi simbolik kepada khalayak pemilih.
Kode keras sebagai komunikasi simbolik adalah penggunaan tanda, simbol, atau bahasa, termasuk gestur (bahasa tubuh) yang memiliki makna spesifik untuk menyampaikan pesan tertentu.
Dalam konteks komunikasi simbolik, kode keras merujuk pada pesan yang bersifat eksplisit, tegas, dan memiliki interpretasi yang sejalan dengan keinginan penyampai pesan kepada khalayak.
Dampak kode keras sangat signifikan. Selain untuk memberikan pesan secara terbuka, kode keras juga dapat diandalkan bila satu pesan mau secara implisit, menciptakan makna tersembunyi, tapi efektif dalam menggiring opini publik, atau dalam konteks kampanye politik bisa dengan mudah mempersuasi pemilih.
Itu sebabnya kode keras bisa digunakan untuk mengkonsolidasikan dukungan terutama dari seorang tokoh sentral kepada pada pendukungnya.
Sehingga sekalipun tidak atau belum secara verbal menyampaikan sikap politiknya, tapi bila secara simbolik dukungan politik itu sudah diarahkan, maka membuka peluang ‘followers’ mengikuti.
Kode keras sebagai komunikasi politik dapat menggalang opini khalayak secara kolektif, sehingga sering digunakan dalam membangun citra atau persepsi untuk membingkai suatu isu agar sesuai dengan narasi politik tertentu.
Dalam ilmu komunikasi, kode keras sebagai komunikasi simbolik dapat dijelaskan melalui beberapa teori komunikasi politik yang berfokus pada penggunaan simbol, tanda, dan makna untuk memengaruhi audiens atau khalayak.
Seperti Teori Simbolisme Politik yang menjelaskan bahwa simbol-simbol politik digunakan untuk membangkitkan emosi, membangun identitas kelompok, dan memberikan makna kolektif.
Sehingga dalam konteks kode keras sebagai komunikasi simbolik, sekalipun adalah alat untuk menyampaikan pesan secara implisit, tetapi dampak kuat dalam menggiring opini.
Murray Edelman dalam bukunya “The Symbolic Uses of Politics” menjelaskan bahwa simbol-simbol politik menciptakan realitas sosial yang memengaruhi perilaku dan preferensi pemilih tanpa perlu adanya penjelasan panjang.
Begitu pula dalam Teori Semiotika (
Semiotics
) yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure dan dikembangkan oleh Roland Barthes, mempelajari hubungan antara tanda (
sign
), penanda (
signifier
), dan petanda (
signified
).
Kode keras dalam konteks ini berfungsi sebagai tanda yang memiliki makna tersirat bagi audiens segmen tertentu.
Roland Barthes dalam “Mythologies” menjelaskan bagaimana tanda-tanda (seperti simbol atau slogan) dalam budaya populer membawa makna ideologis.
Penggunaan warna (seperti merah untuk revolusi atau putih untuk kebersihan moral) adalah contoh kode keras yang dapat dipahami melalui makna budaya dan konteks politiknya.
Dalam Teori Framing oleh Erving Goffman juga menjelaskan bagaimana pesan dikemas atau “dibingkai” untuk membentuk cara audiens memahami sebuah isu.
Dalam konteks ini, di ranah komunikasi politik, kode keras digunakan untuk membingkai pesan secara simbolik agar lebih mudah diterima dan mempersuasi.
Goffman menjelaskan framing sebagai cara untuk mengorganisasi pengalaman sosial dan makna melalui simbol atau narasi tertentu.
Kehadiran Pramono-Rano dan diterima secara sadar oleh Anies di kediamannya, juga menyertakan media, termasuk media sosial adalah upaya framing politik yang tentu saja sudah dikalkulasi dampaknya.
Kode keras juga relevan bila dijelaskan lewat Teori Komunikasi Nonverbal, yang antara lain menekankan pentingnya gestur, ekspresi wajah, pakaian, dan simbol visual lainnya dalam memastikan efektivitas komunikasi politik.
Seperti yang dikemukakan oleh Albert Mehrabian bahwa komunikasi nonverbal bisa lebih efektif dalam menyampaikan emosi dan makna dibandingkan kata-kata.
Sehingga kode keras seringkali muncul dalam bentuk nonverbal untuk menghadirkan impresi, memberi pesan kuat.
Begitu pula dalam Teori Propaganda yang mempelajari bagaimana pesan-pesan politik dirancang untuk memengaruhi opini publik secara luas.
Dalam propaganda, kode keras melalui narasi atau momen interaksi sederhana yang mudah diingat dan dipahami dapat menggerakkan emosi.
Harold Lasswell dalam “Propaganda Technique in the World War” menjelaskan pentingnya simbol termasuk melalui kata-kata atau interaksi sederhana untuk menyampaikan pesan kompleks. Penggunaan gestur (seperti simbol-simbol kampanye) adalah bentuk propaganda simbolik.
Kode keras dalam komunikasi politik menjadi efektif karena dapat memanfaatkan emosi dan identifikasi kelompok. Membangun pesan persuasif sederhana, tetapi memiliki dampak besar.
Itu artinya, kedatangan Pramono-Doel ke kediaman Anies, bila dibaca atau diterima khalayak, terutama oleh ‘Anak Abah’ sebagai bagian dari kode keras dukungan politik Anies, kemudian secara kolektif beringsut atau memilih Pramono-Rano, lantas mereka memenangkan pemilihan, sejatinya Anies telah ikut menangkan Pramono-Rano.
Apalagi bila kemudian Anies tidak hanya sebatas memberikan kode keras lewat komunikasi simbolik, tapi langsung tampil memberikan pernyataan politik atau dukungannya secara terbuka, misalnya dalam kampanye akbar atau jelang masa tenang sebelum hari pencoblosan, tentu makin jelas ‘barang itu’ (kontribusinya).
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.