5 Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta Megapolitan

5
                    
                        Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
                        Megapolitan

Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di antara hiruk-pikuk kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah menara yang seolah berhenti dalam waktu.
Menara Saidah
, dengan tiang-tiang korintus dan fasad bergaya Romawi klasik, kini hanya menjadi bayangan kemegahan masa lalu yang perlahan memudar di tengah pesatnya pembangunan Ibu Kota.
Bangunan setinggi 28 lantai itu pernah menjadi simbol kemajuan kawasan bisnis Cawang pada awal 2000-an.
Namun, hampir dua dekade berlalu, ia menjelma menjadi monumen bisu menggambarkan rumitnya tata kelola ruang Kota Jakarta dan lemahnya penegakan hukum terhadap aset-aset terabaikan.
Penelusuran
Kompas.com
, Jumat (7/11/2025), menunjukkan bahwa Menara Saidah kini seperti artefak kota yang terlupakan.
Di depan gedung, pagar seng berwarna abu-abu kusam setinggi dua meter membentang sepanjang sisi jalan, dengan tulisan besar berwarna merah:
DILARANG MASUK
.
Setiap hari, orang-orang melintas hanya beberapa meter dari bangunan ini tanpa pernah benar-benar tahu apa yang tersisa di balik pagar itu.
Begitu pagar seng dibuka oleh petugas keamanan, suasana berubah drastis. Sunyi. Hanya terdengar dengung mesin kendaraan dari kejauhan dan lolongan anjing penjaga di bawah naungan pohon besar yang tumbuh liar di depan lobi.
Dua pos jaga kecil berdiri di sisi kanan dan kiri gerbang, terbuat dari kayu lapuk yang sebagian atapnya sudah bocor.
“Kami jaga empat orang, siang malam bergantian,” ujar Juliadi (40), salah satu penjaga yang sudah bekerja di sana sejak 2014.
“Tugasnya cuma jaga biar enggak ada yang masuk tanpa izin. Banyak anak muda penasaran, kadang nekat manjat pagar,” lanjutnya.
Di halaman depan, lantai marmer yang dulu berkilau kini tertutup debu, pecahan genteng, dan dedaunan kering.
Rumput liar tumbuh menembus sela ubin, membentuk lanskap alami yang menelan keanggunan desain arsitektur klasik Eropa yang dulu diagungkan.
Fasad bangunan menampilkan enam pilar besar berwarna hijau tua dengan ukiran emas yang kini memudar. Ornamen berbentuk bunga teratai di atas atap lobi menghitam akibat jamur dan cuaca.
Di bagian dalam lobi utama, dua patung klasik berwarna putih, satu berbentuk bust laki-laki dan satu lagi patung singa, duduk berdiri di tengah debu.
Kedua patung itu kotor, tertutup jelaga dan sarang laba-laba, tetapi masih menjaga aura kemewahan masa lalu.
Di langit-langit lobi, lukisan langit berwarna biru muda dengan awan putih masih tampak samar, diapit sisa ornamen emas di tepiannya.
Lift yang dulu menjadi penghubung antar lantai kini hanya menyisakan poros besi vertikal tanpa kabin. Kabel-kabel menjuntai dari langit-langit, berkarat, dan sebagian putus.
Dinding-dinding di sekitar tangga darurat mengelupas, menampakkan lapisan bata merah dan kerangka besi bangunan.
Tangga sempit menuju lantai dua dan seterusnya tak diterangi cahaya. Udara terasa lembap dan berbau besi tua.
Lantai atas tampak seperti ruang terbuka yang membisu. Beberapa ruangan kosong masih memiliki sisa meja, sebagian besar berdebu dan berkarat.
Di salah satu ruangan yang menghadap Jalan MT Haryono, kaca jendelanya sudah pecah, memberikan pemandangan Kota Jakarta yang terus bergerak di luar sana, di antaranya LRT melintas, mobil melaju, dan gedung-gedung baru tumbuh di sekitarnya.
Kontras itu terasa menyesakkan seolah Menara Saidah tidak hanya ditinggalkan secara fisik, tetapi juga secara makna. Ia berdiri tegak, tetapi tak lagi menjadi bagian dari kehidupan kota.
“Dulu pernah ada yang mau syuting, tapi itu udah lama banget,” kata Juliadi lagi.
“Pemerintah belum pernah datang lagi. Katanya mau direvitalisasi, tapi cuma rencana,” imbuhnya.
Sementara di sisi belakang gedung, pemandangan tak kalah miris. Dinding pembatas yang roboh memperlihatkan kontras antara kemegahan dan kesederhanaan permukiman padat warga Cikoko Timur yang hanya berjarak beberapa meter dari fondasi bangunan berlantai 28 itu.
Area parkir bawah juga bisa dilalui dengan tangga besi melingkar di sisi kanan gedung. Area parkir ini kosong dan gelap, hanya diiringi ilalang serta bunyi dedaunan yang bergesekan di sekitar bangunan.
Menara Saidah bukan sekadar bangunan kosong. Ia menyimpan riwayat panjang kepemilikan yang berlapis.
Bangunan ini awalnya dibangun oleh PT Hutama Karya pada 1998 atas pesanan Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu, dengan nama Menara Gracindo.
Beberapa tahun kemudian, gedung itu dilelang dan berpindah tangan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
Sang putra, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran, menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti namanya menjadi Menara Saidah, mengabadikan nama sang ibu.
Pada awal 2000-an, gedung ini sempat digunakan oleh beberapa lembaga negara, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Namun pada 2007, seluruh aktivitas perkantoran di dalam Menara Saidah berhenti. Beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat.
Pihak pengelola, PT Gamlindo Nusa, membantah isu tersebut dan menegaskan bahwa pengosongan dilakukan hanya karena masa sewa habis. Namun, sejak saat itu pintu gedung ditutup rapat.
“Kalau bangunan sudah tidak dimanfaatkan, otomatis Sertifikat Laik Fungsi (SLF)-nya sudah tidak berlaku,” jelas Kartika Andam Dewi, Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta, saat dihubungi
Kompas.com
.
“Pengawasan kami bergilir, dan Menara Saidah belum termasuk daftar 2025. Mungkin baru masuk di jadwal 2026. Karena belum ada laporan aduan atau aktivitas di sana, kami belum melakukan pengawasan lanjutan,” sambungnya.
Andam menegaskan, Menara Saidah merupakan milik swasta, bukan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Karena itu, pemerintah daerah tidak bisa serta-merta melakukan penindakan atau revitalisasi tanpa koordinasi dan izin pemilik.
“Kalau nanti ada laporan visual bahwa bangunan itu membahayakan, baru kami bisa melakukan survei insidental,” katanya.
Fakta ini menunjukkan kerumitan persoalan hukum dan administrasi yang membelit Menara Saidah.
Pemprov DKI tak punya kewenangan langsung, sedangkan pemilik tidak lagi menampakkan inisiatif untuk memanfaatkan aset yang nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah itu.
Upaya menyelamatkan Menara Saidah sebenarnya pernah dibahas. Pada 2016, Pemprov DKI Jakarta sempat berencana mengambil alih pemanfaatan bangunan tersebut. Namun rencana itu urung terlaksana.
Tawaran dari Universitas Satyagama pada 2011 juga kandas karena pemilik tak bersedia menunjukkan gambar struktur gedung.
Warga sekitar mengaku sudah terbiasa melihat bangunan itu diam tanpa perubahan.
“Dulu waktu masih ramai, memang sempat katanya mau direnovasi gitu,” kata Siti (45), pedagang di Cikoko Timur belakang gedung Menara Saidah.
“Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin buat kantor pemerintah atau pusat UMKM kan enak,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Puji (29), pengemudi ojek
online
yang sering melintas di sana.
“Kalau siang enggak apa-apa, tapi kalau malam sepi banget. Lihat aja catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberang udah banyak gedung baru, tapi yang ini kayak ditinggalin gitu aja,” tuturnya.
Menurut Puji, warga sering bertanya-tanya mengapa pemerintah membiarkan bangunan strategis di tengah kota itu terbengkalai begitu saja.
“Katanya punya swasta, tapi masa iya enggak bisa dibenerin bareng-bareng? Jadinya kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” tambahnya.
Bagi sebagian warga, Menara Saidah telah kehilangan maknanya sebagai simbol kemajuan.
“Sekarang malah kalah dan kayak monumen gagalnya tata kota. Kan di kelilingi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur juga, tapi jadi satu-satunya gedung yang tidak dihuni bertahun-tahun,” ujar Tio (41), pegawai kantoran di seberang Menara Saidah.
Pengamat infrastruktur dan tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan, persoalan Menara Saidah bukan semata bangunan mangkrak, melainkan mencerminkan ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola ruang kota.
“Kelayakan bangunan itu yang paling penting adalah aspek keselamatan dan keamanan penggunaan. Kalau aman dan
clear
dari sengketa hukum, sebenarnya Menara Saidah sangat strategis,” ujarnya kepada
Kompas.com
.
Ia menilai, posisi gedung yang dekat dengan LRT, KRL, dan TransJakarta semestinya menjadi keunggulan.
“Sangat cocok kalau dikembangkan jadi
mixed-use building
atau hunian
transit oriented development
(TOD),” katanya.
Namun, Yayat mengingatkan bahwa revitalisasi baru bisa dilakukan jika aspek hukum dan keselamatan sudah tuntas.
“Optimalisasi aset telantarnya harus
clear and clean
dulu. Kalau ada sengketa atau masalah struktur, itu harus diselesaikan dulu sebelum dibangkitkan kembali,” tegasnya.
Yayat bahkan menilai, jika dibongkar dan dibangun ulang sebagai rumah susun terjangkau, lokasinya akan sangat diminati generasi muda yang membutuhkan hunian dekat transportasi publik.
“Posisinya strategis banget. Dekat ke bandara, dekat ke Halim, dekat ke stasiun. Tapi ya, harus berani pemerintah turun tangan untuk memastikan kejelasan statusnya,” katanya.
Menara Saidah kini hanya menjadi latar diam bagi perjalanan ribuan orang yang melintas setiap hari.
Di bawahnya, bus TransJakarta melaju, LRT berderu di atas, dan KRL lewat di sampingnya, tanda Jakarta terus bergerak. Namun di tengah dinamika itu, satu bangunan dibiarkan membeku.
“Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan
aja
begitu,” ujar Wati (50), warga Cikoko Timur yang tinggal di belakang gedung sejak sebelum pembangunan.
Bagi Wati, Menara Saidah bukan sekadar gedung kosong, melainkan simbol kota yang kehilangan arah dalam menata ruangnya.
“Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu. Bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” katanya menutup percakapan.
Menara Saidah, dengan segala kisah kemegahan dan kebisuannya, kini menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa tata kelola dan kepastian hukum hanyalah ilusi kemajuan.
Ia berdiri tegak, tapi tanpa jiwa sebuah bayangan kemegahan yang terbengkalai di tengah megaproyek Jakarta yang terus berlari.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.