45 Tahun Wak Dul Penjual "Rambut Nenek" Bertahan di Tengah Banjirnya Makanan Siap Saji Surabaya 10 Januari 2025

45 Tahun Wak Dul Penjual "Rambut Nenek" Bertahan di Tengah Banjirnya Makanan Siap Saji
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        10 Januari 2025

45 Tahun Wak Dul Penjual “Rambut Nenek” Bertahan di Tengah Banjirnya Makanan Siap Saji
Tim Redaksi
PASURUAN, KOMPAS.com
– Suara biola
arbanat
Abdul Sakrip, yang akrab disapa
Wak Dul
, selalu menggema di antara keramaian siswa SD Negeri Pekuncen,
Pasuruan
.
Suara “Ngik.. Ngok.. Ngok.. Ngik… Ngok…” itu berhasil menarik perhatian anak-anak yang ingin menikmati
jajanan tradisional
berbahan gula pasir yang telah dikenal sejak lama.
Abdul Sakrip (73) adalah penjual arbanat keliling asal Desa Gejugjati, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Dengan penuh kesabaran, ia melayani permintaan siswa-siswa yang ingin menikmati “rambut nenek” kesukaan mereka.
“Beli berapa nak, sabar ya,” ujarnya sambil membuka kaleng berisi potongan arbanat.
Dengan telaten, Wak Dul memasukkan arbanat ke dalam kantong plastik, yang dihargainya antara Rp 3.000 hingga Rp 10.000, tergantung ukuran.
“Lima ribu ya nak, ini hati-hati di jalan,” pesan Wak Dul, memberikan nasihat kepada salah satu pembelinya setelah menerima uang.
Menjadi penjual arbanat adalah panggilan hidup bagi Wak Dul. Ia telah menjalani profesi ini sejak tahun 1980, ketika masih lajang.
Ia mengaku menikmati pekerjaan ini meskipun harus berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya.
“Saya sudah hafal sekolah mana saja yang kira-kira ramai pembelinya. Saya menunggu jam istirahat atau jam pulang sekolah,” kata Wak Dul sembari menutup kalengnya rapat.
Setiap pagi, Wak Dul mengendarai motornya menuju Kota Pasuruan dengan arbanat yang sudah disiapkan di rumahnya.
Selain menjajakan arbanat di sekolah, Wak Dul juga menjualnya di tempat-tempat keramaian seperti alun-alun Kota Pasuruan atau sekitar GOR di Jalan Sultan Agung.
“Motor saya parkir, terus saya keliling alun-alun atau nunggu jadwal pulang sekolah,” ujarnya.
Setiap hari, meski jualan tidak selalu habis, Wak Dul tetap bersyukur karena diberikan kesehatan.
Dalam satu kali berkeliling, ia membawa tiga kaleng arbanat seberat tiga kilogram yang digantung di badannya.
Ia juga tak lupa membawa alat musik mirip biola sebagai penanda kehadiran penjual arbanat.
“Saya yakin arbanat tetap disukai di tengah banjirnya makanan ringan siap saji,” tuturnya dengan senyuman.
Arif, salah satu penikmat arbanat Wak Dul, mengungkapkan kecintaannya pada jajanan ini yang mengingatkannya pada masa kecil.
“Saya sering beli, biasanya di alun-alun atau di depan sekolah SD Bangilan. Rasanya masih original, gula asli,” ujarnya.
Meski kedua anaknya telah bekerja dan berkeluarga, Wak Dul menegaskan bahwa ia tidak ingin menjadi beban bagi mereka.
Wak Dul menjaga fisiknya agar tetap sehat, dia mengatur waktu agar tidak terlalu lelah.
Sebelum berangkat berjualan, ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan dan membawa air mineral sebagai bekal.
“Kalau pulang ya jam 1 siang. Jangan lupa juga sholatnya dijaga,” pungkasnya.
Dengan sikap dan pandangan hidup yang positif, Wak Dul tetap melanjutkan tradisi menjajakan arbanat, menjaga keaslian jajanan ini di tengah arus modernisasi.
Dia adalah contoh nyata bahwa pilihan hidup yang sederhana namun penuh makna dapat memberikan kebahagiaan tersendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.