4 Meredupnya Era Kejayaan Mal-mal Hits di Masanya… Megapolitan

4
                    
                        Meredupnya Era Kejayaan Mal-mal Hits di Masanya…
                        Megapolitan

Meredupnya Era Kejayaan Mal-mal Hits di Masanya…
Penulis

KOMPAS.com –
Sejumlah mal-mal hits di Jakarta, Depok, hingga Bekasi kini sepi pengunjung, bahkan tutup.
Dulu mereka menjadi destinasi favorit, tempat berburu gawai terbaru, nongkrong sepulang sekolah, hingga berburu diskon menjelang Lebaran.
Kini, sebagian besar mal legendaris seperti Roxy Square, Ratu Plaza, dan Grand Mall Bekasi hanya menyisakan lorong sepi dan papan bertuliskan “Dijual” di beberapa sudut toko-toko yang ada di dalamnya.
Fenomena matinya mal-mal lama ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan potret perubahan besar gaya hidup masyarakat perkotaan, yakni dari budaya jalan-jalan di mal ke layar ponsel, dari transaksi tatap muka ke belanja daring.
Di masa jayanya, Roxy Square di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, adalah “kiblat”-nya para pemburu ponsel.
Namun kini, sebagian besar konter handphone telah tutup. Spanduk “Dijual” menempel di dinding, dan lampu-lampu di lantai satu redup berkedip, memberi kesan bangunan yang kehilangan napas.
Candra (bukan nama sebenarnya), pedagang aksesori yang masih bertahan, mengaku sebagian besar rekan seprofesinya telah pindah ke ITC Roxy Mas.
“Saya sih enggak buka toko
online
, tapi memang semenjak pascapandemi Covid-19, mal jadi makin sepi, minat orang-orang sudah beralih belanja praktis yang simpel-simpel,” ujarnya.
Naik ke lantai dua, suasana tak jauh berbeda. Eskalator tak lagi berfungsi, kios aksesori tersisa hanya beberapa, dan satu-satunya area yang masih hidup hanyalah pusat kebugaran.
Di tengah hiruk-pikuk Jalan Jenderal Sudirman, Ratu Plaza kini ibarat gedung megah yang kehilangan pengunjung. Lantai demi lantai diisi toko-toko yang tutup, sebagian bahkan digembok permanen.
Toni (40), karyawan toko elektronik, mengatakan masa sulit dimulai sejak pandemi.
“Dari Covid, sebelum Covid masih bagus banget. Karena efek dari Covid kan jadinya kemana-mana,” ujarnya.
Ia menambahkan, penjual yang bertahan hanyalah mereka yang punya pelanggan tetap.
“Yang bertahan itu yang udah punya pelanggan tetap, ya emang pemain lama semua, pasti di atas sepuluh tahun semua,” katanya.
Pengunjung seperti Rani (34) kini jarang datang karena merasa suasana Ratu Plaza sudah tertinggal zaman.
“Menurut saya perlu banget renovasi. Mungkin ubah konsepnya jadi lebih modern dan multifungsi, gabungin area kerja, kuliner, sama
lifestyle
. Jadi orang datang bukan cuma buat keperluan elektronik,” ujarnya.
Kondisi serupa terjadi di Koja Trade Mal, Jakarta Utara. Deretan toko tertutup rapat, sebagian bahkan menempelkan pengumuman “disewakan”.
“Sejak habis Covid-19 lah, itu sepi. Habis Covid-19 kemarin masih mending, baru mulai tahun 2023–2024 dan tahun ini paling parah karena enggak ada pembeli, kata Yora (54), pedagang tas di Koja Trade Mal.
Sebelum pandemi, omzetnya bisa mencapai Rp 2–3 juta per hari. Kini, ia kesulitan membayar sewa kios Rp 18 juta per tahun. Kondisi serupa dirasakan Avo (50), pedagang jam, yang mengaku omzetnya turun hingga 75 persen.
Di sisi timur Jakarta, Pulogadung Trade Center (PTC) juga bernasib sama.
Deretan kios pakaian banyak yang tutup. Okto (56), salah satu pedagang, mengaku dalam sehari sering kali tak mendapat pembeli.
“Enggak ada sih, ya kadang kosong, tapi kadang ada satu atau dua, enggak nentu,” katanya.
Menurutnya, masyarakat kini lebih memilih belanja online karena praktis.
“Awalnya ya karena toko online itu terus digempur corona. Mau mulai online juga berat, saya enggak paham,” ujarnya.
Di kawasan Taman Sari, Grand Paragon Mall kini lebih mirip gedung hotel daripada pusat belanja.
Hanya area supermarket Grand Lucky di lantai dasar yang masih ramai. Lantai atas sunyi, toko-toko ditutup permanen.
“Orang datang cuma lihat-lihat, bandingin harga
online
, terus nggak beli,” kata Jatman (25), karyawan toko olahraga.
Sebagian besar pengunjung kini adalah tamu hotel di area yang sama.
Pengunjung setia seperti Jafri (34) datang hanya untuk belanja kebutuhan rumah tangga.
“Saya cuma ke Grand Lucky aja. Di atas sepi banget, kayak mal kosong,” ujarnya.
“Mal-nya bagus sebenarnya, tapi kalau toko-tokonya tutup, orang malas datang,” kata Arumy (25), pekerja kantoran di sekitar mal.
Nasib lebih baik sedikit terlihat di Depok Town Square (Detos). Meski tak seramai dulu, sebagian pedagang memilih bertahan.
“Udah mulai agak stabil ya, cuman enggak terlalu ramai banget,” kata Rifa (46), pedagang aksesori di Detos.
Ia sempat kehilangan usahanya di masa pandemi, namun kini bekerja di bawah pemilik toko lain.
“Aku bilang, ‘Yakin,’ karena kan aku di rumah juga enggak ada kegiatan apa-apa,” tuturnya.
Ia berharap manajemen melakukan strategi agar pengunjung kembali datang.
Di Bekasi, dua mal legendaris, Borobudur Plaza dan Grand Mall Bekasi, resmi berhenti beroperasi.
Borobudur Plaza, yang berdiri sejak 1993, kini hanya buka musiman saat Lebaran. Gedungnya terbengkalai, parkiran ditumbuhi rumput, dan dinding mulai retak.
Grand Mall Bekasi pun menutup operasional ritelnya sejak awal 2025. Menurut Senior Head Marketing Communication Sufala Handri, keputusan itu diambil karena tekanan ekonomi dan menurunnya daya beli.
“Efek pandemi pasti ada. Sampai sekarang pun kita masih merasakan efek pandemi,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menilai fenomena ini wajar jika mal tidak mampu beradaptasi dengan perubahan gaya hidup masyarakat.
“Jika pusat perbelanjaan tidak memiliki ataupun tidak mampu menyediakan fasilitas maka tidak akan dipilih dan akan ditinggalkan oleh para pelanggannya,” ujarnya.
Menurut Alphonzus, mal kini tidak lagi sekadar tempat berbelanja, tetapi menjadi ruang sosial dan hiburan.
“Sudah sejak lama fungsi utama pusat perbelanjaan bukan lagi hanya sekadar sebagai tempat berbelanja saja,” katanya.
Ia menegaskan, hanya mal yang mampu menambah fungsi baru, seperti ruang komunitas, tempat kuliner, hingga
coworking space
yang bisa bertahan.
“Pusat perbelanjaan akan selalu berubah dari waktu ke waktu karena sangat erat dengan gaya hidup yang cepat sekali berubah,” ujarnya.
Matinya mal-mal lawas bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan simbol perubahan budaya kota.
Dari Roxy hingga Borobudur Plaza, kisahnya serupa, yakni ruang yang dulu jadi pusat interaksi kini digantikan notifikasi dari aplikasi
e-commerce
.
Di tengah dunia yang makin digital, keberlangsungan mal bergantung pada kemampuannya membaca ulang makna “berbelanja” bahwa bukan lagi soal transaksi, melainkan pengalaman sosial.
(Reporter: Ardhi Ridwansyah, Faesal Mubarok, Hafizh Wahyu Darmawan, Shinta Dwi Ayu, Febryan Kevin Candra Kurniawan, Lidia Pratama Febrian, Omarali Dharmakrisna Soedirman | Editor: Tim Redaksi)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.