4 Cerita Pencari Kerja di Jakarta Job Fair: Sulit Diterima karena Terbentur Syarat hingga Ingin Jadi Pengusaha Megapolitan

4
                    
                        Cerita Pencari Kerja di Jakarta Job Fair: Sulit Diterima karena Terbentur Syarat hingga Ingin Jadi Pengusaha
                        Megapolitan

Cerita Pencari Kerja di Jakarta Job Fair: Sulit Diterima karena Terbentur Syarat hingga Ingin Jadi Pengusaha
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta melalui Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) kembali menggelar Jakarta
Job Fair
pada 15-16 April 2025.
Kali ini, Jakarta Job Fair digelar di Gelanggang Mahasiswa Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta Barat.
Dalam pergelaran
bursa kerja
tersebut, terdapat sejumlah cerita yang diungkapkan para
pencari kerja
atau
job seeker.
Dua peserta Jakarta Job Fair, Nova (24) dan Caca (23), mengaku tidak mempermasalahkan pekerjaan yang bisa didapat saat mencari kerja, sekalipun itu di luar minat dan berbeda dengan latar belakang pendidikan mereka.
Keduanya tidak menutup kesempatan jika memang ada perusahaan yang mau menerima latar belakang pendidikan mereka untuk posisi yang berbeda.
“Sebenernya dari awal minatnya ke bidang manajemen SDM (sumber daya manusia), cuma kalau misalnya ke depannya ada peluang buat lintas sektor, atau kalau misalnya aku dapet
company
yang kebetulan mencari orang di bidang yang lain dan aku tertarik, mungkin bakalan
move
jurusan, pindah sektor gitu dan cocok gitu ya, dari pusatnya juga nerima,” jelas Nova saat ditemui di Jakarta Job Fair, Selasa (15/4/2025).
“Kalau nanti ke depannya enggak tahu keadaannya gimana, mungkin ya udah menyesuaikan. Enggak apa deh lintas sektor gitu karena mengerjakan hal baru juga ya dan sesuai
passion
sih,” kata Caca di tempat yang sama, Selasa.
Senada dengan Nova dan Caca, pencari kerja lainnya, Niko (30), siap ditempatkan di pekerjaan apa pun meski ia sudah memiliki pengalaman bekerja bertahun-tahun.
Niko mengaku selama dua tahun belakangan ini dirinya melakukan pekerjaan sampingan. Namun, saat ini ia ingin punya pekerjaan utama yang lebih menjanjikan.
“Gantinya yang apa ajalah, yang penting ada berpeluang jadi karyawan tetap aja ya. Soalnya umur makin nambah, saingan makin banyak,” ungkapnya.
Pencari kerja
lainnya, Jaya (30), juga secara khusus
mencari pekerjaan
baru yang sama sekali berbeda dari pekerjaan yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Akan tetapi, ia tetap mempertimbangkan kemampuan dan latar belakang pendidikan yang ia miliki dalam memilih pekerjaan.
“Cari di bidang apa aja sesuai dengan kriteria saya. Sesuai dengan
skill
yang saya punya, kayak Excel,
data entry
, saya juga bisa di bidang sistem informasi yang saya ngerti, kuliahnya dulu jurusan Sistem Informasi,” tutur Jaya.
Tak sedikit dari pencari kerja mengeluhkan soal sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia lantaran terbentur syarat-syarat yang dinilai tidak masuk akal.
Satu syarat yang paling bermasalah bagi Niko adalah batas usia. Biasanya perusahaan Indonesia memberikan batas usia 25 tahun dalam merekrut pekerja.
Syarat tersebut cukup menghambat Niko untuk bisa mendapatkan pekerjaan lantaran ia sudah menginjak usia 30 tahun.
“Kesulitannya paling syaratnya, terutama usia. Usia sangat-sangat jadi penghambat. Saingannya makin bertambah, posisinya makin berkurang (jadi sulit diterima),” kata Niko.
Sementara itu, berdasarkan pengalaman Nova, melamar posisi magang pun sama sulitnya dengan pekerja tetap.
“Kalau kita lamar ke
internship
pun tetap susah ya. Karena entah itu dari mereka yang mau nyarinya yang
unpaid
, atau mereka yang nyarinya emang masih belia. Jadinya susah dari situ juga dari
internship
,” jelas Nova.
Sementara itu, Caca merasa adanya umpan balik (
feedback
) yang kurang dari perusahaan tempat ia melamar pekerjaan sehingga membuatnya kesulitan dalam mengembangkan diri.
Menurut Caca, ada baiknya perusahaan memberi kabar terkait proses rekrutmen agar pencari kerja tahu hal apa yang kurang dan harus dikembangkan ke depannya.
“Dari proses rekrutmen itu kadang enggak ada
feedback
-nya. Jadi kita enggak tahu nih, kita kurang di mana, kurang menarik di CV kah, atau
simply
karena enggak
match
di
background
ya,” sahut Caca.
Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno menyebutkan, ada lebih dari 100.000 lapangan pekerjaan yang siap diisi warga Indonesia di Jepang.
“Jepang itu memberikan kuota yang cukup besar untuk Indonesia, hampir 148.000. Kalaulah Jakarta bisa mengambil 10.000, harus mulai inventarisasi hari ini,” kata Rano kepada awak media, Selasa (15/4/2025).
Selain Jepang, Rano juga menyebutkan sejumlah negara yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Oleh karena itu, hal tersebut disebut dapat dimanfaatkan warga Indonesia, khususnya Jakarta.
“Bahwa ada potensi lapangan pekerjaan di luar negeri. Taiwan membutuhkan jumlah yang sangat besar, Jepang, Jerman, kemudian termasuk Belanda,” tuturnya.
Mendengar hal itu, sejumlah pencari kerja merasa tertarik, salah satunya Niko. Di Jakarta Job Fair, Niko berdiri cukup lama untuk mempelajari informasi terkait kesempatan bekerja di luar negeri, khususnya Jepang di salah satu
booth
perusahaan mitra.
Ia mengaku tertarik untuk bekerja di Jepang atau negara Eropa. Menurut Niko, pekerjaan yang ditawarkan di luar negeri memiliki persyaratan yang lebih mudah dibandingkan Indonesia.
“Sempet cari info yang luar negeri. Cuma, saya bandingkan dengan di Indonesia, enggak serumit di Indonesia ya. Di sana kayaknya yang penting ibaratnya mau kerja ajalah,” katanya.
Jaya berpendapat serupa. Ia menilai, bekerja di luar negeri lebih menjanjikan dibandingkan di Indonesia.
Namun, sampai saat ini Jaya masih belum cukup yakin dan siap untuk mendaftarkan dirinya bekerja jauh di negeri orang.
“Sebenarnya tertarik ya, karena yang dijanjikan sama perusahaan luar tuh buat kita
benefit
-nya lebih banyaklah. Kita loyal ke perusahaan, perusahaan juga loyal ke kita. Tapi koneksinya saya belum banyaklah buat bisa masuk. Kalau buat negaranya Jepang sih tertarik,” jelas Jaya.
Berbeda dengan Niko dan Jaya, pencari kerja lainnya, Rifki (24), belum merasa tertarik untuk bekerja ke luar negeri.
Untuk saat ini, Rifki ingin bekerja di Jakarta saja dan dekat dengan keluarganya.
“Belum tertarik ke luar negeri sih. Masih mau coba kerja di negara sendiri dulu aja. Enggak mau jauh dari keluarga karena orangtua nungguin di rumah kan, enggak enak ngerantau terus,” kata Rifki.
Membuka usaha pribadi menjadi alternatif bagi sebagian orang di tengah persaingan ketat dalam mencari kerja.
Rifki mungkin memang belum tertarik bekerja di luar negeri. Namun, pria lulusan jurusan bisnis ini tertarik untuk mengembangkan usaha makanan dan minuman.
Namun, untuk saat ini Rifki merasa belum yakin untuk memulai bisnisnya karena peluang untung rugi yang belum pasti.
“Sempet tertarik, kadang kalau awal-awal agak
gambling
gitu kalau usaha. Walaupun udah ada modal, cuma
gambling
aja,” kata Rifki.
Nova pun merasa tertarik setelah membantu ibunya mengelola toko kelontong sambil ia terus berusaha mencari pekerjaan.
“Jadi kayak meneruskan, mencoba memahami, sambil cari kerja. Karena kan sebelumnya udah punya ilmu, jadi pengin juga diterapin,” kata Nova.
Selain berbisnis, menjadi pekerja lepas (
freelance
) adalah alternatif lain yang diambil pencari kerja sambil mencari pekerjaan tetap.
Niko dan Jaya sempat mengambil langkah tersebut, tetapi menghadapi sejumlah penurunan dalam beberapa waktu ini.
Jaya sudah memulai proyek di bidang teknologi informasi bersama rekannya sejak ia masih bekerja di perusahaan kehewanan. Namun, proyek tersebut agak tersendat beberapa waktu ini.
“Saya juga lagi ada
project
, cuma masih
stuck
sekarang,” ungkap Jaya.
Di samping itu, Jaya juga bekerja sebagai pengemudi
ojek online
(ojol). Pendapatannya yang tidak seberapa itu membuat Jaya harus berusaha lebih keras dalam mencari pekerjaan baru.
Jaya tak mau terus-menerus menjadi pekerja lepas.
Sama halnya dengan Jaya, Niko juga mengembangkan usaha di bidang yang hampir serupa.
Selama Niko merawat ibunya yang kurang sehat, ia menawarkan jasa penggunaan kecerdasan buatan (
artificial intelligent
/AI) dalam mengelola data.
Namun, sering kali Niko dipandang sebagai penganggur karena hanya bekerja di depan laptopnya di rumah.
“Sebenernya lumayan penghasilannya. Cuma keluarga tuh lihatnya itu enggak kerja. Harus keluar rumah, harus apa gitu. Jadi kadang keluarga suka dateng di rumah, ‘Ini di rumah mulu ini,’ cuma saya enggak jelasin kerjaan saya sih. Enggak bakal ngerti juga, udah pada tua,” jelas Niko.
Bersaing dengan pekerja dari seluruh penjuru dunia untuk mendapatkan proyek membuat Niko harus selalu siaga di depan laptop.
“Kalau kita keluar rumah jadi enggak bisa dapet duit. Mesti harus
stand by
mulu di depan laptop soalnya rebutan sama negara lain juga. Jadi siapa cepat dia dapat,” katanya.
Dengan munculnya AI yang bervariasi saat ini, Niko mulai kehilangan banyak proyek. Ia tidak lagi bisa bertumpu pada pekerjaan itu.
Seperti halnya Jaya, Niko harus berusaha lebih ekstra untuk mendapatkan pekerjaan formal yang baru dan layak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.