Yogyakarta, CNN Indonesia —
Sebanyak 39 siswa difabel gagal masuk sekolah negeri lantaran jadi korban sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMP Negeri jalur afirmasi disabilitas di Kota Yogyakarta yang diberlakukan mulai tahun ini.
Kasus ini diungkap oleh kelompok Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia di kantor mereka, Jumat (5/7). Mereka menyebutnya sebagai kejadian terburuk sepanjang sejarah pelaksanaan pendidikan inklusi.
“Kota Jogja ini sudah menjadi barometer penyelenggara pendidikan inklusif, kasus ini jadi yang terburuk sampai 39 (siswa) tidak bisa masuk di SMP Negeri bagi kami juga kemunduran yang sangat besar,” kata Program Officer SIGAB, Ninik Heca, Jumat (5/7).
Ninik menjelaskan, 39 anak ini gagal sekolah di SMP Negeri karena terbentur sistem aturan PPDB yang hanya memungkinkan setiap peserta didik memilih maksimal 3 sekolah saja.
Padahal, tahun lalu setiap siswa mempunyai kesempatan mendaftar hingga seluruh 16 SMP yang ada di Kota Yogyakarta.
Artinya, para siswa difabel tahun lalu bebas masuk ke SMP Negeri manapun, lantaran tidak adanya batasan maksimal sekolah pilihan.
“Jadi, bisa dipastikan terwadahi semua siswa difabel (sistem tahun lalu), tapi kalau tahun ini ketika tiga (sekolah) tidak masuk ya tidak bisa memilih sekolah lain lagi,” beber dia.
Gara-gara sistem baru ini pula, ada empat sekolah yang kuota siswa difabelnya belum terpenuhi. Keempat sekolah itu antara lain SMPN 1, SMPN 5, SMPN 8, dan SMPN 15.
Ninik menguraikan, jumlah pendaftar PPDB SMP Negeri jalur afirmasi disabilitas sebanyak 179 peserta dengan kuota 173 kursi. Setelah melalui seleksi berdasarkan jarak, tercatat 140 peserta didik diterima, sehingga masih ada 33 kuota yang kosong dari empat SMP tadi.
“Tapi ya lagi-lagi, (peluang mengisi 33 kuota) sudah tertutup karena ketika di tiga sekolah (pilihan) itu tidak bisa masuk ya akhirnya keluar (terlempar) dari sistem PPDB online negeri itu,” jelasnya.
Menurut Ninik, Pemerintah Kota Yogyakarta menawarkan solusi dengan menambah jumlah SMP swasta penerima peserta yang tidak lolos PPDB jalur afirmasi penyandang disabilitas ini. Bagi SIGAB, ini bukan jalan keluar, apalagi biaya pendidikan di sana yang tidak murah.
Demikian pula Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) sebesar Rp4 juta per tahun untuk bersekolah di SMP swasta yang ditunjuk. Menurut Ninik, itu juga bukan solusi.
“Swasta tahu sendiri, masuknya berapa juta juga. Sangat memberatkan, apalagi ditambah kebutuhan lain-lain seperti transportasi, kan banyak yang nggak bisa naik sepeda motor dan harus taksi online,” paparnya.
Dengan adanya kasus ini, SIGAB berencana mendampingi para orangtua siswa difabel tak lolos PPDB SMP ini untuk melapor ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY. Harapannya, upaya ini bisa mengikis jalan buntu agar 39 anak tadi bisa bersekolah di SMP Negeri.
SIGAB juga akan mengusulkan perbaikan sistem PPDB jalur disabilitas tahun depan. “Difabel berhak memilih semua sekolah negeri di wilayah mereka tinggal,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala Unit Pelaksana Teknis Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Pendidikan dan Resource Centre Disdikpora Kota Yogyakarta Aris Widodo merinci perbedaan antara sistem PPDB SMP Negeri jalur afirmasi disabilitas tahun ini dan tahun sebelumnya.
Aris menerangkan, peserta didik yang gagal lolos PPDB SMP Negeri jalur disabilitas tahun ini karena dengan sistem real time online, apabila sudah memilih tiga sekolah lalu diseleksi berdasarkan jarak dan ketiga sekolah itu terpenuhi kuotanya, maka mereka otomatis terlempar keluar.
“Ketika pengajuan pendaftaran, itu di sana memilih tiga sekolah. Lalu mencetak bukti berkas, ada lampiran persyaratan, assesmen, C1 kuota, ASPD dikirimkan kami ke ULD, tapi kami sudah tidak klarifikasi. Kami cuma cek syarat ini ada, ada, ada dan ketika dia sudah masuk sistem sudah tidak bisa mengundurkan diri. Sampai pilihan ketiga tidak lolos, habis,” kata Aris di Kantor SIGAB.
“Ketika mereka sudah verifikasi masuk ke sistem online, itu tidak bisa mengubah pilihan. Kalau mengubah pilihan berarti undur diri, kalau undur diri tidak masuk sistem online di seluruh kota,” sambungnya.
Pada tahun-tahun sebelumnya, kata Aris, semua pendaftar jalur afirmasi disabilitas bisa diterima dan terdistribusikan ke seluruh SMP negeri di Kota Yogyakarta karena PPDB masih menggunakan metode manual, atau belum sistem online.
“Kalau (sistem tahun) ini afirmasi tapi kan yang dihitung penempatannya zonasi. Kalau dulu afirmasi disabilitas itu penempatannya di kami, wawancara dengan orangtua, milihnya di mana, sekarang pakai sistem kan nggak bisa wawancara. Hanya memasukkan jarak,” terangnya.
Disdikpora juga tidak bisa memaksakan sebagian besar dari 39 anak itu masuk ke 33 kuota tersisa karena sistem sudah terkunci.
Disdikpora, kata Aris, juga sulit membuka lagi sistem PPDB untuk menampung 39 anak ini, dikarenakan mencegah timbulnya kecemburuan dari 9 anak yang kini juga sudah mendaftarkan diri ke sekolah swasta.
“Sedangkan kalau kita cabut (aturan) dan anak balik ke negeri, sekolah swasta ngamuk,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Disdikpora menawarkan solusi beralih ke swasta dan diberikan dana JPD, dengan rincian Rp1 juta untuk keperluan pribadi, Rp3 juta untuk operasional sekolah.
(kum/DAL)
[Gambas:Video CNN]