3 Di Balik Pergantian Kepemimpinan MUI yang Berlangsung Sejuk dan Damai Nasional

3
                    
                        Di Balik Pergantian Kepemimpinan MUI yang Berlangsung Sejuk dan Damai
                        Nasional

Di Balik Pergantian Kepemimpinan MUI yang Berlangsung Sejuk dan Damai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Hari ini, Sabtu (22/11/2025), Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar pemilihan kepengurusan yang baru untuk masa pelayanan atau khidmat 2025-2030, termasuk Ketua Umum (Ketum).
Berdasarkan
rundown
acara yang diterima
Kompas.com
, acara puncak Musyawarah Nasional (Munas) XI
MUI
yang digelar di Mercure Hotel, Ancol, Jakarta Timur dimulai dengan laporan pertanggungjawaban pengurus dengan masa khidmat 2020-2025.
Laporan ini akan disampaikan pukul 16.00 WIB, yang diketuai langsung oleh
Ketua Umum MUI
Kyai Anwar Iskandar bersama dua Wakil Ketua Umum dari representasi Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud, dan representasi Muhammadiyah Anwar Abbas.
Rangkaian berlanjut dengan pengesahan tata tertib pemilihan Ketua Umum, Dewan Pimpinan Pertimbangan untuk masa khidmat 2025-2030 dan pengusulan penetapan tim formatur.
Puncaknya, pengumuman akan dilaksanakan selepas shalat Isya, sekitar pukul 21.00 WIB, dengan mengumumkan Ketua Umum yang baru dan mengikat sebagai keputusan Munas XI yang berlaku selama periode lima tahunan.
Dalam sejarah panjang berdirinya MUI, tampuk kepemimpinan silih berganti dijabat oleh representasi Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar
Pada awal dibentuknya MUI, Buya Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Buya Hamka menjadi Ketua Umum.
Estafet kepemimpinan kemudian dialihkan kepada Kyai Syukri Ghozali dalam Munas II sebagai representasi dari NU.
Kepemimpinan berikutnya dipegang Hasan Basri sebagai representasi Muhammadiyah, dilanjutkan Ali Yafie yang menjabat selama 10 tahun, kemudian Sahal Mahfudh yang menjabat selama 13 tahun. Keduanya adalah representasi NU.
Tampuk kepemimpinan kemudian sempat dilanjutkan Din Syamsuddin sebagai pengganti antar waktu Sahal Mahfudh yang meninggal dunia. Din adalah representasi dari Muhammadiyah.
Setelah Din Syamsuddin, Munas IX pada 2015 menetapkan Kyai
Ma
‘ruf Amin sebagai Ketua Umum.
Ma’ruf Amin kemudian digantikan Miftachul Akhyar yang merupakan Rais Aam PBNU.
Namun, Miftachul Akhyar hanya menjabat dua tahun. Dengan alasan sepuh dan kesibukan yang padat, dia kemudian mundur dan digantikan Anwar Iskandar.
Ketua Steering Commite Munas MUI XI, Masduki Baidlowi mengatakan, pergantian kepemimpinan MUI berbeda dengan ormas pada umumnya yang muncul gesekan kemudian isu menghangat bahkan memanas.
Sebab, dia menyebut, dalam pemilihan Ketua Umum MUI yang baru dan kepengurusannya menggunakan sistem formatur.
Kyai Masduki menyebutnya sebagai cara yang mirip digunakan oleh sistem politik Islam sesaat setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yakni menggunakan sistem
ahlul halli wal aqdi.
“Ini dipakai setelah Rasulullah wafat, maka para Khulafaur Rasyidin (para sahabat Nabi) pengganti Rasulullah itu menggunakan sistem
ahlul halli wal aqdi
. Sehingga dengan demikian, maka pemilihan menjadi lebih teduh, lebih adem,” katanya saat ditemui di Ancol Mercure, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Setelah terbentuknya formatur ini, yang membuat pemilihan Ketum MUI lebih tertib dan damai adalah musyawarah dan mufakat.
Musyawarah mufakat ini memberikan suasana yang lebih sejuk saat mempertimbangkan siapa sosok yang cocok menjadi nahkoda MUI dalam lima tahun ke depan.
Kyai Masduki menjelaskan, musyawarah ini tentu sangat bergantung pada kepada masyarakat besar yang menjadi representasi umat Islam di Indonesia.
Mereka adalah NU dan Muhammadiyah. Namun, bukan berarti ormas Islam lainnya tidak dilibatkan.
Dia menyebut, banyak ormas Islam seperti Persis, Nahdlatu Wathan dan lain-lain yang juga turut dilibatkan dalam proses musyawarah.
Hal ini membuat pemilihan Ketua Umum MUI jadi mudah diprediksi.
Masduki mengatakan, sistem ini akan memberikan kecenderungan kepemimpinan satu tokoh di MUI bisa tetap dari masa ke masa.
Hal ini bisa terlihat dari kepemimpinan Kyai Sahal Mahfudh yang menjabat selama 13 tahun dan terpilih dalam tiga kali Munas. Kepemimpinannya diganti setelah beliau wafat.
“Ketuanya yang dipilih akan tetap, terus Ketua Dewannya juga akan tetap, kecenderungannya begitu,” ujarnya.
Menurut dia, kemungkinan yang berubah adalah komposisi dari komisi, badan, dan lembaga (KBL) di bawah MUI sebagai bentuk representasi organisasi masyarakat Islam secara keseluruhan.
Masduki mengatakan, ada kemungkinan perwakilan setiap ormas yang belum masuk akan ditambahkan dalam KBL di bawah kewenangan MUI dan mencerminkan MUI sebagai lembaga yang menaungi ormas Islam lainnya.
“Jadi tanda besar itu disitu, dan selama ini berjalan dengan baik. Bahwa mungkin ada beberapa yang belum masuk, masuk di komisi-komisi. Karena komisi itu roda organisasi sebenarnya, itu adalah di KBL. Komisi, badan, lembaga, itu rodanya,” katanya.
Walaupun pimpinan MUI “itu-itu saja”, antara NU dan Muhammadiyah, Masduki menyebut bahwa tetap ada perubahan dan perkembangan dalam organisasi tersebut.
Salah satunya terkait independensi yang semakin terbangun. Dia tak menampik bahwa MUI memang dikenal sebagai ormas “pelat merah” karena didirikan di masa Orde Baru sebagai lawan dari ormas Islam kritis saat itu.
“Jadi kita tidak bisa membantah bahwa MUI pada mulanya diciptakan sebagai subordinat pemerintah. Tapi setelah reformasi, MUI bertransformasi menjadi sebuah lembaga keagamaan ormas yang independen,” katanya.
Reformasi memberikan kemandirian pemikiran MUI dengan tujuan utama adalah sebagai pelayanan umat.
Pelayanan umat ini cukup luas, seperti bidang ekonomi, politik, lingkungan, etika, hingga hubungan internasional.
Masduki menegaskan, MUI saat ini bertransformasi sebagai lembaga yang memberikan nasihat kepada pemerintah agar tetap memberikan kebijakan yang berbasis pada kepentingan rakyat.
Lembaga yang dulunya sebagai corong program pemerintah, kini justru memberikan berbagai catatan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.
Masduki mengatakan, yang paling santer terdengar saat ini adalah permintaan MUI agar pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan terkait produk ekonomi yang terafiliasi pada kejahatan genosida Israel di Gaza.
“Kita mau minta tolong agar ada kebijakan, karena sampai saat ini langkah itu masih bersifat euforia, misalnya kita tidak makan produk itu, tapi setelah seminggu kita tetap makan (produk terafiliasi Israel),” ujarnya.
MUI mendorong agar pemerintah bisa memberikan kebijakan afirmatif dan mendahulukan produk lokal ketimbang produk yang terafiliasi dengan kejahatan perang Israel.
“Sekarang kita ubah, bahwa makan di UMKM itu keren, itu termasuk yang kita dorong,” tandas Masduki.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.