29 Perusahaan Dituding Rusak Hutan, Walhi: Negara Rugi Rp 200 T

29 Perusahaan Dituding Rusak Hutan, Walhi: Negara Rugi Rp 200 T

Donggala, Beritasatu.com – Organisasi lingkungan hidup wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) melaporkan 29 perusahaan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan korupsi dan kejahatan lingkungan. Nilai kerugian negara akibat praktik ilegal ini ditaksir mencapai Rp 200 triliun.

Laporan tersebut disampaikan Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian dan diterima oleh perwakilan dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Pidana Khusus, dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).

“Kami melaporkan 29 korporasi yang kami duga terlibat dalam perusakan lingkungan dan tindak pidana korupsi, mulai dari tambang nikel hingga real estat,” kata Uli Arta Siagian kepada wartawan, Sabtu (5/7/2025).

Puluhan perusahaan tersebut tersebar di enam provinsi, yaitu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), dan Jawa Tengah (Jateng).

Sektor usaha yang dilaporkan beragam, mencakup tambang nikel, tambang emas, perkebunan sawit, pembangkit listrik, hingga galian C.

Menurut data Walhi, 147 hektare hutan dirambah secara ilegal oleh korporasi-korporasi tersebut. Aktivitas seperti pembalakan liar, eksploitasi tambang tanpa izin, dan kerusakan ekologis lainnya turut menjadi sorotan.

“Kayunya dijual, tanahnya dieksploitasi. Ini kejahatan struktural dan ekologis,” tegasnya.

Walhi menekankan, kerugian negara mencapai Rp 200 triliun dihitung dari dampak langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan dan sumber daya negara.

Laporan ini merupakan kelanjutan dari pengaduan serupa yang dilakukan Walhi pada Maret 2025, ketika mereka menyerahkan daftar 47 korporasi dengan indikasi pelanggaran lingkungan dan korupsi.

Pihak Kejaksaan Agung menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut dan memilah berdasarkan kategori hukum, yaitu pidana umum, pidana khusus, atau melalui Satgas PKH.

Walhi mendesak agar penegakan hukum dilakukan secara terbuka dan tegas, tanpa memberikan celah perlindungan legal kepada pelaku.

“Korporasi tak boleh lagi berlindung di balik legalitas usaha jika di lapangan mereka merusak hutan dan merugikan rakyat,” pungkasnya.