24.000 Anak di Gorontalo Tak Sekolah, Pemda: Bukan Hanya Masalah Ekonomi Regional 28 Oktober 2025

24.000 Anak di Gorontalo Tak Sekolah, Pemda: Bukan Hanya Masalah Ekonomi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Oktober 2025

24.000 Anak di Gorontalo Tak Sekolah, Pemda: Bukan Hanya Masalah Ekonomi
Tim Redaksi
 
GORONTALO, KOMPAS.com
– Terdapat 24.171 anak tidak sekolah (ATS) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) per Juli 2025. Jumlah tertinggi berada di Kabupaten Pohuwato dengan 2.822 anak.
Dari total tersebut, sebanyak 8.774 anak tercatat drop out, 6.893 anak lulus namun tidak melanjutkan pendidikan, dan 8.504 anak belum pernah bersekolah.
Data ini diungkap dalam diskusi kelompok terpumpun bertema strategi penanggulangan anak putus sekolah karena faktor sosial-ekonomi keluarga yang digelar Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapppeda) Provinsi Gorontalo, Senin (27/10/2025).
Ketua Tim Peneliti Kajian Pendidikan Bapppeda Provinsi Gorontalo, Muchtar Ahmad, menjelaskan bahwa persoalan anak tidak sekolah tidak semata disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga karena rendahnya kesadaran, akses pendidikan, dan dukungan sosial di tingkat keluarga serta lingkungan.
“Banyak anak di daerah pedesaan dan terpencil yang akhirnya berhenti sekolah karena jarak yang jauh, biaya transportasi, serta rendahnya kemampuan ekonomi orang tua,” ujar Muchtar Ahmad.
Menurut Muchtar, hal ini sejalan dengan peta jalan pendidikan yang mencatat penyebab utama anak tidak sekolah (ATS) adalah kemiskinan, hambatan sosial-budaya, serta persepsi yang keliru terhadap pendidikan.
Ia menambahkan, keterbatasan akses pendidikan dan kurangnya relevansi antara pendidikan dan dunia kerja juga menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Dalam diskusi itu, Muchtar memaparkan berbagai isu lintas sektor yang berkaitan dengan anak tidak sekolah, seperti anak di daerah khusus, pekerja anak, anak korban kekerasan, anak berkonflik dengan hukum, penyandang disabilitas, anak terlantar, korban perkawinan anak, hingga anak jalanan.
Ia menegaskan pentingnya strategi nasional (stranas) untuk mengatasi masalah ini, salah satunya melalui pendataan dan pemetaan Anak Tidak Sekolah (ATS) serta Anak Berisiko Putus Sekolah (ABPS).
“Tujuannya untuk memastikan semua anak usia 7–18 tahun teridentifikasi status pendidikannya, baik yang tidak pernah sekolah, putus sekolah, maupun berisiko putus sekolah,” jelasnya.
Selain itu, penjangkauan dan reintegrasi anak ke jalur pendidikan formal, non-formal, atau pelatihan vokasional juga menjadi langkah penting.
“Penjangkauan dan reintegrasi anak ke jalur pendidikan atau pelatihan bertujuan mengembalikan anak tidak sekolah ke sistem pendidikan sesuai usia dan kebutuhan mereka,” ujar Muchtar.
Dari hasil kajian, Muchtar menyimpulkan bahwa penanganan anak putus sekolah harus dilakukan secara kolaboratif, lintas sektor, dan berkelanjutan.
“Tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan pendidikan, tetapi juga dengan memperkuat ekonomi keluarga, meningkatkan kesadaran pentingnya pendidikan, dan menciptakan akses yang lebih adil bagi seluruh anak,” katanya.
Ia juga merekomendasikan beberapa program untuk mendukung upaya ini, seperti sekolah berbasis asrama di daerah terpencil, program Patroli Anak Sekolah Keluarga Cerdas (PASKAS), serta gerakan “Back to School” bagi anak-anak yang telah putus sekolah.
Sekretaris Bapppeda Provinsi Gorontalo, Nalienly Grace Rawung, yang hadir mewakili Kepala Bapppeda, menegaskan bahwa isu anak putus sekolah merupakan persoalan krusial yang perlu segera ditangani.
“Kita ketahui bersama bahwa pendidikan menjadi salah satu program unggulan Gubernur Gusnar Ismail dan Wakil Gubernur Ida Syahidah,” ujar Grace.
Menurutnya, akses terhadap pendidikan adalah hak mendasar sekaligus kunci utama memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi.
Ia menambahkan, kajian ini menyoroti faktor sosial-ekonomi keluarga sebagai penyebab utama anak tidak sekolah.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dari sisi pendidikan semata, tetapi juga harus menyentuh aspek kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan sosial,” tutur Grace.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.