TRIBUNJATIM.COM – Kurang lebih 20 tahun lamanya Sudarmo seorang pekerja serabutan bersabar dan tekun dalam usaha.
Sudarmo akhirnya bisa melakukab ibadah umrah dengan istrinya setelah berjualan Apen.
Setiap malam pukul 23.00 WIB, Juma’atun (44) dan suaminya Sudarmo (55) memulai rutinitas mereka menyalakan api di dalam tungku tanah liat.
Wajan kecil yang juga terbuat dari tanah liat dipanaskan, dan adonan apen dituangkan sesuai takaran.
Setelah matang, apen didinginkan dan dikemas dengan mika untuk dijual.
Pasangan suami istri yang tinggal di Desa Karanganyar, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur ini telah menekuni usaha berjualan apen selama dua puluh tahun.
Mereka berasal dari lingkungan desa yang mayoritas warganya bekerja sebagai kuli tambak garam, yang tentunya berbeda jauh dari usaha apen yang mereka jalani.
Perjalanan mereka untuk menjadi penjual apen tidaklah mudah.
Sebelumnya, Sudarmo hanyalah pekerja serabutan, sementara Juma’atun adalah ibu rumah tangga biasa.
“Kalau dulu, apapun saya kerjakan Mas,” ungkap Sudarmo kepada Kompas.com, Selasa (28/1/2025), seperti dikutip TribunJatim.com, Selasa.
Ia tidak pernah memilih pekerjaan yang ditawarkan, selama pekerjaan tersebut halal, ia melakukannya dengan penuh ketabahan.
Dari menjadi kuli di tambak garam hingga bekerja memasang terop saat hajatan, Sudarmo telah melakoni berbagai pekerjaan.
Namun, penghasilan yang diperolehnya tidak menentu, dan sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Namanya kerja serabutan Mas. Hasilnya tidak pasti,” kenangnya.
Selama tujuh tahun menjalani pekerjaan serabutan setelah menikah dan dikaruniai dua orang anak laki-laki, Sudarmo mendapatkan ide untuk berjualan apen dari sang istri.
Pengusaha Apen yang akhirnya berhasil umrah (Kompas.com)
Juma’atun yang gemar membuat apen mulai menjualnya dari pintu ke pintu dengan berjalan kaki.
Seiring berjalannya waktu, apen yang dijualnya mulai memiliki pembeli tetap, baik yang menunggu di rumah maupun yang datang langsung ke rumah mereka.
Kini, Juma’atun dan Sudarmo tidak perlu lagi menjajakan apen secara langsung, karena mereka telah memiliki pembeli tetap yang membeli apen mereka untuk dijual kembali.
“Ada sekitar dua puluh lima pembeli tetap yang beli apen buatan kami,” kata Juma’atun.
Pembeli apen mereka berasal dari berbagai kecamatan seperti Lenteng, Manding, dan Gapura, bahkan hingga Kabupaten Pamekasan.
Apen buatan Juma’atun telah menjadi incaran pembeli sejak dini hari, yang ingin mendapatkan jumlah sesuai permintaan.
Tungku api untuk membuat Apen (Kompas.com)
Meskipun Juma’atun tidak memiliki resep khusus untuk membuat apen, ia percaya bahwa kualitas gula dan tekstur apen yang lebih lembut menjadi daya tarik tersendiri.
“Katanya gulanya enak dan apennya lembut,” terangnya.
Dari usaha berjualan apen selama dua dekade, Juma’atun dan suaminya berhasil menunaikan ibadah umrah.
Selain itu, hasil dari penjualan apen juga mulai mereka kembangkan ke usaha lain, seperti menyewa tambak garam untuk produksi.
Juma’atun bersyukur atas usaha yang memberikannya penghasilan tetap, tetapi ia tidak akan pernah melupakan perjalanan hidupnya yang pernah dilalui dalam keadaan kekurangan.
“Kuncinya tekun dan sabar Mas,” tutup Juma’atun.
Sementara itu, usaha juga dilakukan oleh pria Lumajang dan malah menembus pasar internasional.
Berkat tangan kreatifnya, Nur Hasan (40) warga Desa Gucialit, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur memproduksi briket hingga diminati pasar benua Eropa.
Hasan menerangkan produk briket bikinannya menjadi pemasok rutin seorang pengusaha di negara Turki.
Pria ramah ini mengaku awal mula produk briketnya bisa menembus pasar mancanegara bermula ketika dirinya memasarkan produk kerajinannya di media sosial Facebook pada tahun 2023 silam.
“Awalnya saya produksi kerajinan dari batok kelapa kemudian dan laku ke Turki. Lalu pemesan juga menanyakan apakah juga membuat briket, lalu saya menerima pesanan tersebut,” ujar Hasan di tempat produksi briket miliknya, Senin (20/1/2024).
Hasan pun membuat briket dengan otodidak. Ia mengaku mencari tahu cara membuat briket dari YouTube. Ia pun menginprovisasi proses pembuatan briket dan akhirnya bisa membuat briket dengan kualitas mumpuni.
“Bahannya sangat mudah didapat dari limbah batok kelapa. Di Lumajang kan banyak kelapa. Tapi kalau lagi butuh banyak saya ngambil juga di Bondowoso dan Situbondo,” paparnya.
Menurut Hasan, proses pembuatan briket terbilang gampang-gampang susah. Produksi briket dimulai dari membakar batok kelapa yang sudah berbentuk cacahan atau kepingan kecil.
Lalu batok kelapa tersebut dibakar hingga menjadi arang. Proses dilanjutkan dengan menggiling arang batok kelapa menjadi serbuk.
Serbuk tersebut kemudian dicampur dengan bahan tambahan. Diantaranya tepung tapioka dan sodium. Bahan tambahan tersebut dicampur denga arang kelapa hingga menjadi adonan.
Adonan yang sudah kejadi kemudian dicetak menggunakan mesin dan ditata di papan untuk kemudian dioven atau dijemur jika cuaca sedang bagus.
Setiap 6 bulan, Hasan mengirim sebanyak 18 ton kepada pemesannya yang berasal dari Turki.
“Orang Turkinya sudah ke tempat saya dan melihat langsung briket ini. Per 1 kilogram briket produksi saya ini harganya Rp 15 ribu. Di Turki sana briket saya buat alatnya Shisha (rokok ala Arab),” katanya.
Setiap kali produksi untuk pengiriman ke Turki, Hasan mengaku bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp 50 juta.
“Modalnya Rp 30 jutaan untuk tiap kali produksi briket ini untuk besaran produksi 18 ton,” katanya.
Hasan memperkerjakan 13 orang pegawai yang merupaka warga sekitar untuk menunjang produksi briket miliknya.
Ia juga dibantu oleh sang istri Dayang Andriana dalam mengelola bisnis produksi briket tersebut.
“Keunggulannya briket ini gak ada asap. Panas lebih stabil daripada arang biasa,” ungkapnya.
Kendati diminati pasar luar negeri, Hasan mengaku produk miliknya justru tak terlalu diminati pasar lokal.
“Kalau lokalan saja pesan itu hanya kiloan gak sampai ber ton-ton kayak di Turki,” papar pria asal Gucialit tersebut.
Selama membangun usaha, Hasan mengingat dirinya bersama sang istri bahu-membahu merintis usaha briket.
Ia merasakan bantuan atau dukungan dari pemerintah dalam mendukung usahanya sangat jarang.
“Ya dilakukan sendiri, kalau dari pemerintah ngajuin umkm susah,” keluhnya.
Berita viral lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com
