Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

2 Kehidupan Gelap dan Pengap di Bawah Kolong Jembatan Pakin… Megapolitan

2
                    
                        Kehidupan Gelap dan Pengap di Bawah Kolong Jembatan Pakin…
                        Megapolitan

Kehidupan Gelap dan Pengap di Bawah Kolong Jembatan Pakin…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gelap merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan tempat tinggal puluhan warga di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara.
Ada 20 jiwa yang berlindung di bawah kolong jembatan ini. Mulai dari lansia, dewasa, hingga anak-anak.
“Kurang lebih kalau ama anak-anaknya sih 20 oranglah. Paling keluarga 18 KK kurang lebih,” ucap Jumiati (49) saat ditemui di lokasi, Jumat sore, (8/11/2024).
Permukiman ini memang kerap kali tidak terlihat karena berada persis di bawah kolong jembatan yang ada di Jalan Pakin.
Untuk memasuki area ini, setiap orang harus melewati tepi Kali Krukut yang berada persis di depan Museum Bahari.
Kali tersebut juga sebagai pembatas area Pademangan dengan Penjaringan, Jakarta Utara.
Terlihat pula akar-akar pohon berwarna cokelat menggantung di area masuk permukiman warga.
Beberapa orang harus menundukan kepala ketika ingin masuk ke permukiman ini.
Namun, semakin ke dalam, ketinggian kolong jembatan semakin bertambah menjadi 2,5 meter.
Jadi, warga yang tinggal di sana pun tidak harus selalu menundukan kepala jika ingin masuk ke dalam rumahnya.
Selain gelap, kondisi pemukiman ini terasa begitu pengap dan minim sirkulasi udara.
Setiap bedeng kurang lebih berukuran 2,5×3 meter.
Di bedeng berukuran panjang tersebutlah, warga bertahan hidup selama belasan hingga puluhan tahun.
Jumiati sendiri mengaku sudah tinggal di Kolong Jembatan Pakin selama 26 tahun.
Ia tinggal bersama suami dan dua orang anaknya di rumah bedeng beratapkan beton Jembatan Pakin.
Sementara lantainya juga tak berkeramik dan masih tanah.
Meski rumah bedengnya hanya berukuran 2,5×3 meter, Jumiati melengkapinya dengan berbagai perabot rumah tangga.
Misalnya kasur berukuran sekitar 160×200 cm, lemari kayu, rice cooker, dan lainnya.
Bahkan, tak jauh dari tempat tidurnya, terdapat dapur tempat di mana Jumiati mempersiapkan makanan terbaik untuk anggota keluarganya.
Dapur Jumiati terlihat begitu sederhana, hanya ada kompor gas satu tungku yang ditataki meja kayu berwarna hitam.
Tak ada pembatas antara tempat tidur Jumiati dan keluarga dengan dapur tersebut.
Hal itulah, yang membuat kondisi rumah Jumiati semakin pengap dan lembab.
Lampu di dalam rumahnya pun tak pernah padam selama 24 jam akibat minimnya cahaya matahari.
Jumiati bercerita, mampu bertahan di permukiman yang gelap dan kumuh karena penghasilan suaminya tak cukup untuk mengontrak rumah.
“Ya, gimana, ya, penghasilan bapaknya enggak cukuplah, anak kan sekolah,” kata Jumiati.
Jumiati mengaku suaminya hanya berprofesi sebagai tukang ojek online yang pendapatannya tak menentu.
Jika penumpang sedang ramai, suaminya bisa membawa pulang uang sebesar Rp 100.000.
Namun, bagi Jumiati, uang Rp 100.000 itu sangat pas-pasan untuk kehidupannya sehari-hari.
Pasalnya, kedua anaknya bersekolah dan membutuhkan ongkos, serta makan.
“Ya, kalau sehari mah abis Rp 100.000 buat jajan sama ongkos anak sekolah,” ujar Jumiati.
Ibu dari dua orang anak ini berharap suatu saat bisa mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak.
Ia juga mengaku, tak keberatan jika direlokasi ke rumah susun (rusun) oleh pemerintah.
Namun, ia berharap pemerintah bisa menggratiskan biaya sewa rusun tersebut.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.