Hidup dari Gaji UMP di Jakarta: Bertahan, Berhemat, dan Menunda Mimpi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta atau yang dulu dikenal sebagai UMR sekitar Rp 5 juta kerap terdengar cukup di atas kertas.
Tetapi bagi banyak pekerja, angka itu lebih sering menjadi batas antara bertahan hari ini dan menunda mimpi untuk esok hari.
Bagi sebagian orang, upah setara UMP Jakarta bukan lagi soal hidup layak, melainkan bagaimana bisa terus berjalan hingga akhir bulan.
Pengalaman itu tercermin dari kisah para pekerja muda dengan latar belakang berbeda, tetapi dipertemukan oleh realitas yang sama yakni mengelola hidup di Jakarta.
Sari Kartika (25), misalnya, bekerja sebagai sales promotion girl (SPG). Perempuan yang sudah menilah ini telah dua tahun bekerja dengan gaji sekitar Rp 5,3 juta per bulan, setara UMP Jakarta.
“Pengeluaran terbesar biasanya untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti makan, belanja bulanan, dan transportasi. Karena sudah menikah, pengeluaran jadi lebih terasa dibanding waktu masih lajang,” ujar Sari saat ditemui di rumah kontrakannya, Kamis (17/12/2025).
Sari tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan dengan biaya sewa yang ditanggung bersama.
Untuk transportasi, ia menyesuaikan dengan jadwal kerja, kadang menggunakan motor, kadang transportasi umum.
Meski tak merinci angka, Sari mengakui ongkos transportasi cukup menggerus penghasilan.
Ia dan suaminya masih bisa menabung, meski jumlahnya terbatas.
“Masih, tapi tidak banyak. Tabungan itu biasanya hasil gabungan saya dan suami. Kalau hanya dari gaji saya sendiri, rasanya sulit untuk nabung besar,” kata dia.
Menjelang akhir bulan, pola hidup mereka berubah. Pengeluaran diperketat, belanja ditunda, keinginan ditekan.
“Menjelang akhir bulan biasanya sudah mulai lebih hemat. Kami jadi lebih selektif belanja, menahan keinginan yang bukan kebutuhan utama,” ujar Sari.
Ia mengaku jarang berutang, tetapi menunda kebutuhan sudah menjadi hal lumrah. Hiburan menjadi hal pertama yang dikorbankan.
“Kami jarang banget liburan jauh. Biasanya cukup di rumah atau keluar sebentar yang tidak banyak keluar biaya,” tutur dia.
Dengan kondisi itu, Sari menilai hidupnya berada di antara “cukup” dan “bertahan”.
“Karena belum punya anak, masih terasa cukup kalau digabung dengan gaji suami. Tapi kalau nanti punya anak, saya merasa UMR pasti berat,” ucap Sari.
Berbeda dengan Sari, Dilla (23) masih lajang. Ia bekerja sebagai personal assistant di Jakarta Selatan dengan gaji sekitar Rp 6 juta per bulan, sedikit di atas UMR.
Sebagai perantau dari Serang, Banten, Dilla menanggung seluruh biaya hidup sendiri di Jakarta.
Ia tinggal di kos kawasan Kemang dengan biaya Rp 2,2 juta per bulan. Menurutnya, angka itu mahal, tetapi sepadan dengan lokasi dan fasilitas.
“Pos terbesar tentu tempat tinggal atau kos. Pos kedua paling besar adalah biaya makan sehari-hari,” ujar Dilla.
Untuk transportasi, ia mengandalkan ojek online karena jarak kos ke kantor cukup dekat. Biayanya sekitar Rp 400.000–Rp 500.000 per bulan.
Dilla berusaha menyisihkan tabungan sejak awal gaji masuk, meski jumlahnya terbatas.
“Bisa, tapi mepet banget. Nabungnya pelan-pelan,” kata dia.
Menjelang akhir bulan, hidupnya berubah menjadi mode bertahan. Ia membawa bekal, berhenti membeli kopi, dan mengurangi hangout.
“Lumayan struggle. Aku harus benar-benar ngatur supaya bisa bertahan sampai gajian,” ucap Dilla.
Saat ditanya seberapa sering gajinya habis sebelum waktunya, jawabannya singkat.
“Setiap bulan,” tutur dia.
Bagi Dilla, gaji setara UMR belum bisa disebut layak.
“Menurut aku, untuk hidup layak, mengandalkan
gaji UMR
itu tidak cukup di Jakarta. Di atas Rp 10 juta baru bisa dibilang layak, apalagi kalau mau menabung lebih banyak,” kata Dilla.
Muhammad Iqbal (23) bekerja sebagai QC Staff. Ia sudah delapan bulan bekerja di Jakarta, setelah empat tahun merantau sejak kuliah di Depok. Gajinya setara UMR, sedikit di atasnya.
Pengeluaran terbesarnya adalah kos Rp 1,5 juta per bulan (termasuk listrik) dan makan. Biaya transportasi sekitar Rp 200.000 per bulan untuk bensin motor.
Iqbal mengaku selalu menyisihkan tabungan dan dana darurat.
“Karena kita enggak tahu kebutuhan mendesak itu datang kapan,” kata dia.
Ia pernah berada di fase sulit di awal bekerja, bahkan sempat berutang ke sepupu dan mengirit makan. Namun pengalaman itu mengajarkannya cara mengelola gaji.
“Sejauh ini saya tidak pernah merasa gaji UMR habis sebelum waktunya. Tergantung cara kita manage dan gaya hidup,” ujar Iqbal.
Bagi Iqbal, UMR masih memungkinkan hidup layak selama masih lajang.
“Saya masih bisa bertahan hidup layak di ibu kota, mengirim ke orang tua dan menabung,” tutur dia.
Namun ia mengakui, hiburan menjadi hal yang paling sering dikorbankan.
Perencana keuangan Rista Zwestika CFP WMI menjelaskan, UMP DKI Jakarta 2025 sekitar Rp 5,39 juta per bulan. Namun angka itu belum mencerminkan biaya hidup riil.
“Survei BPS dan sejumlah lembaga menunjukkan bahwa biaya hidup rata-rata rumah tangga di Jakarta jauh lebih tinggi (BPS: sekitar Rp 14,8 juta per bulan untuk rumah tangga), sehingga UMP hanya menutup sebagian kebutuhan dasar,” ujar Rista saat dihubungi.
Menurut dia, bagi pekerja lajang yang sangat hemat, UMR masih memungkinkan untuk bertahan, tetapi dengan banyak kompromi.
Ia memaparkan alokasi realistis penghasilan Rp 5 juta per bulan: hunian 30 persen, makan 25 persen, transportasi 10 persen, tagihan 8 persen, kesehatan 5 persen, tabungan 10 persen, dan sisanya untuk kebutuhan fleksibel.
Dalam praktiknya, Rista kerap menemui pola hidup
paycheck-to-paycheck
, kerja sampingan, ketergantungan pinjaman konsumtif, serta minimnya perlindungan dan investasi jangka panjang.
“Tidak siap krisis PHK, sakit, atau kejadian besar memaksa jual aset atau pinjam mahal. Tidak ada investasi atau persiapan pensiun meningkatkan risiko kemiskinan di usia tua,” jelas dia.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menegaskan
UMR Jakarta
secara nominal terlihat tinggi, tetapi belum mencerminkan standar hidup layak.
“Struktur biaya hidup didominasi pengeluaran non-makanan terutama perumahan dan transportasi yang bersifat wajib dan sulit dikompresi,” kata Rizal.
Menurut dia, bagi pekerja lajang UMR mungkin cukup untuk bertahan. Namun bagi pekerja berkeluarga, ruang finansialnya sangat sempit.
“Dalam konteks ini, UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum bertahan hidup, bukan jaminan hidup layak,” ujar Rizal.
Ia menilai kenaikan UMR kerap kalah cepat dari inflasi biaya hidup perkotaan, seperti sewa hunian, ongkos komuter, dan harga pangan.
Akibatnya, setiap kenaikan upah habis untuk menutup pengeluaran rutin. Jika kondisi “cukup tapi rapuh” ini meluas, fondasi ekonomi kota menjadi tidak kokoh.
“Konsumsi rumah tangga tetap berjalan, tetapi bersifat defensif dan minim tabungan,” ujar dia.
Menurut Rizal, solusi tidak bisa berhenti pada penyesuaian upah.
“Pemerintah perlu memprioritaskan pengendalian biaya hidup pada pos pengunci, terutama hunian terjangkau, transportasi publik, dan stabilisasi harga pangan,” kata Rizal.
Cerita Sari, Dilla, dan Iqbal menunjukkan bahwa Rp 5 juta di Jakarta bukan sekadar angka.
Mereka adalah spektrum pengalaman yakni antara bertahan dengan kompromi, cukup dengan disiplin, atau lelah oleh kenyataan.
Satu benang merahnya sama yakni UMR Jakarta sering kali cukup untuk hari ini, tetapi belum tentu untuk masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
2 Hidup dari Gaji UMP di Jakarta: Bertahan, Berhemat, dan Menunda Mimpi Megapolitan
/data/photo/2025/12/17/6942d73f4e6df.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)