Alam Takambang Jadi Guru
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
BAGI
orang Minangkabau, alam bukan sekadar lanskap, melainkan lembaga pendidikan paling tua dan paling jujur.
“Alam takambang jadi guru” bukan ungkapan puitis, tetapi fondasi filsafat hidup: manusia belajar dari pergerakan air, arah angin, lenturnya bambu, kedewasaan pohon, dan harmoni rimba.
Alam adalah kitab yang tak pernah selesai dibaca. Namun, manusia hari ini lebih sibuk membaca angka pertumbuhan ekonomi daripada membaca tanda-tanda alam.
Kita memaksa tanah mengalah demi investasi, memaksa sungai tunduk pada beton, dan memaksa hutan diam saat perluasan lahan terus berjalan.
Kita memperlakukan alam bukan sebagai guru, tetapi sebagai pelayan. Maka ketika banjir bandang, longsor, dan gelombang besar menghantam, kita menyebutnya musibah; padahal itu hanyalah pelajaran yang selama ini kita abaikan.
Bencana yang menerpa banyak kawasan di Sumatera Barat bukan datang tiba-tiba. Ia adalah rangkaian panjang dari kelalaian yang diulang-ulang.
Ketika hutan di lereng gunung ditebang, kita diam. Ketika rumah dibangun di bantaran sungai, kita maklum.
Ketika batuan dan pasir diambil tanpa kendali, kita sebut sebagai mata pencaharian. Ketika perizinan mengabaikan kontur tanah dan karakter wilayah, kita menyebutnya kemajuan.
Kita lupa bahwa pembangunan yang tidak menghormati ruang adalah undangan bagi bencana. Pelajaran itu selalu datang terlambat — datang setelah air bah menerjang rumah dan murid-murid sekolah mengungsi, setelah jembatan roboh dan masyarakat kehilangan mata pencaharian.
Kita seakan menolak mengingat fakta sederhana: alam menyimpan semua perlakuan manusia, baik atau buruk.
Minangkabau sejak dulu menempatkan rasa sebagai inti kearifan —
raso jo pareso. Raso
berarti empati;
pareso
berarti kemampuan menguji diri.
Itulah etika batin yang membuat masyarakat memutuskan sesuatu bukan hanya berdasarkan benar–salah secara formal, tetapi juga berdasarkan pantas–tidak pantas secara moral.
Namun, hari ini
raso
semakin tergusur oleh kalkulasi. Kita bertanya: berapa keuntungan? Berapa pendapatan daerah? Berapa nilai investasi?
Namun, kita jarang bertanya: berapa nyawa bisa selamat jika kita menahan diri? Berapa generasi yang terlindungi jika hutan dipertahankan?
Raso
pudar ketika ruang hidup hanya dinilai dari uang, bukan dari kehidupan. Alam tidak pernah menolak manusia mencari nafkah, tetapi alam menolak manusia kehilangan
raso
hingga membiarkan seimbangnya dunia runtuh.
Tidak ada gunanya berpura-pura: kerusakan alam bukan hanya soal perilaku masyarakat, tetapi juga soal keberanian negara mengambil sikap.
Perizinan longgar, konflik tata ruang, eksploitasi kawasan rawan, dan tumpang tindih kewenangan memperbesar risiko bencana di banyak wilayah Sumatera Barat.
Pemerintah daerah kerap berdalih bahwa mereka membutuhkan pemasukan PAD, sedangkan pemerintah pusat menekankan percepatan pembangunan.
Keduanya benar — tetapi keduanya bisa salah ketika keselamatan publik hanya menjadi catatan kaki.
Negara hadir setelah bencana, tetapi negara seharusnya hadir sebelum bencana. Kiriman logistik dan kunjungan pejabat menyentuh hati; tetapi keberanian menolak izin yang merusak ruang hidup jauh lebih menyelamatkan.
Pemimpin bukan hanya mereka yang membantu korban, tetapi mereka yang mencegah munculnya korban.
Dalam kosmologi Minangkabau, surau bukan hanya tempat ibadah, tetapi universitas masyarakat.
Surau mengajarkan agama, adat, dan etika hidup — terutama tanggung jawab moral manusia atas alam.
Di sana, anak-anak diajarkan bahwa kesalehan bukan hanya soal ritual, tetapi juga soal menjaga kehidupan.
Doa tanpa tindakan adalah kesalehan yang lumpuh. Ibadah tanpa kepedulian terhadap lingkungan adalah ketaatan yang belum selesai.
Namun, generasi hari ini tumbuh di zaman di mana pendidikan lebih mengutamakan keahlian teknis daripada kesadaran ekologis, lebih mengagungkan kompetisi daripada kebersamaan menjaga ruang hidup.
Kita mengubah banyak hal, tetapi kita kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: kompas moral dalam memperlakukan alam.
Dalam sejarah Minangkabau, keputusan hidup tidak pernah dibuat sendirian. Ada kaum, ada musyawarah, ada tanggung jawab bersama.
Ketika seseorang menebang pohon di hulu, itu menjadi urusan masyarakat hilir. Ketika air keruh, itu menjadi kewajiban bersama untuk mencari sebab.
Orang menganggap membuang sampah ke sungai adalah urusan pribadi, membangun rumah di daerah rawan adalah keputusan ekonomi keluarga, dan mengalihkan fungsi hutan adalah kewenangan administratif.
Padahal, akibatnya berskala umum: desa terendam, sawah rusak, anak-anak sekolah tak bisa belajar, dan pengungsian menjadi takdir tahunan. Kita kehilangan gotong royong ekologis — padahal itu pernah menjadi kekuatan terbesar masyarakat Minang.
Adat Minangkabau sejak dulu bersandar pada alam:
adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adat mamakai.
Di balik formula itu tersimpan logika ekologis yang kuat.
Syarak
mengajarkan amanah menjaga titipan Tuhan, adat menerjemahkannya ke dalam tata ruang dan tata perilaku manusia.
Itulah sebabnya
karuhun
menentukan kawasan yang tidak boleh diganggu: hutan larangan, mata air, dan aliran sungai.
Namun, adat kehilangan daya ketika hukumnya tidak dijadikan pijakan kebijakan, dan
syarak
kehilangan kekuatannya ketika ia berhenti pada kewajiban ibadah tanpa etika ekologis.
Keduanya tidak hilang, tetapi keduanya kurang dihidupkan. Padahal, jika adat dan
syarak
konsisten dijalankan, banyak bencana dapat dicegah, bahkan tanpa teknologi modern.
Kita tidak perlu menunggu bencana berikutnya untuk berubah. Kita hanya perlu mengingat pelajaran yang selama ini diberikan alam.
Menjaga lereng berarti menjaga warga hilir. Menjaga
leuweung
berarti menjaga sawah. Menjaga sungai berarti menjaga sekolah dan masa depan anak-anak.
Menjaga laut berarti menjaga ekonomi rakyat. Mitigasi bukan pengeluaran, melainkan investasi untuk generasi mendatang. Keselamatan bukan biaya, melainkan kewajiban.
Pemerintah pusat dan daerah harus satu napas: keselamatan publik adalah batas tertinggi pembangunan.
Masyarakat pun harus kembali pada
raso jo pareso
: mengambil secukupnya, tidak merampas melebihi yang diperlukan.
Kita tidak akan kehilangan kemajuan jika kita memperlambat ambisi. Namun, kita akan kehilangan masa depan jika kita terus mengabaikan pelajaran alam.
Bencana bukan finalitas. Ia adalah panggilan untuk sadar. Alam bukan musuh yang perlu dilawan, tetapi guru yang perlu didengarkan.
Yang rusak bukan takdir; yang rusak adalah pilihan. Maka pulih bukan hanya pekerjaan teknis — membangun jembatan, menata tebing, mengeruk sungai — tetapi pekerjaan batin: menata cara kita memandang alam.
Alam akan kembali ketika manusia kembali. Sungai akan tenang ketika ambisi mereda. Hutan akan tumbuh ketika keserakahan berkurang. Masa depan akan aman ketika keputusan-keputusan hari ini berani berpihak pada kehidupan.
“Alam takambang jadi guru” bukan wejangan masa lalu — ia adalah kompas agar bangsa ini tidak belajar melalui duka, tetapi melalui kebijaksanaan.
Bencana bukan nasib, itu pelajaran. Dan pelajaran itu akan berhenti ketika manusia mau belajar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
2 Alam Takambang Jadi Guru Regional
/data/photo/2025/11/30/692bb4f2670ce.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)