Pidie Jaya, Beritasatu.com – Sudah 19 hari berlalu sejak banjir bandang dan longsor melanda Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Namun, hingga kini, sejumlah fasilitas pendidikan masih tertimbun lumpur tebal. Salah satunya adalah Dayah Al-Munawarah Pocut Imum Mukim Al-Aziziyah (Dapima) yang berlokasi di Gampong Blang Cut, Kecamatan Meurah Dua.
Pantauan di lokasi menunjukkan belum terlihat satu pun alat berat yang dikerahkan untuk membersihkan area dayah. Aktivitas pembersihan masih dilakukan secara terbatas oleh beberapa santri dan guru dengan peralatan sederhana, seperti cangkul dan sekop.
Pimpinan Dayah Al-Munawarah, Tgk Mustaqim menceritakan detik-detik awal terjadinya banjir bandang yang nyaris merenggut nyawa para guru dan santri. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (25/11/2025) sekitar pukul 21.30 WIB, saat aktivitas pengajian masih berlangsung.
“Awalnya kami mengira ini banjir biasa, seperti tahun lalu. Tidak terlalu parah,” ujar Tgk Mustaqim, Minggu (14/12/2025).
Namun, kondisi berubah drastis. Debit air terus meningkat dan disertai kayu-kayu besar yang hanyut hingga masuk ke area dayah. Demi keselamatan, para pengelola segera memulangkan seluruh santri ke rumah masing-masing.
Sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, ketinggian air kembali dicek dan ternyata semakin parah. Sejumlah guru yang masih bertahan di lokasi terpaksa menyelamatkan diri dengan naik ke genteng meunasah dan loteng pondok pengajian.
Di tempat itulah mereka bertahan selama lima hari lima malam.
“Kami pikir air masih banjir biasa. Namun, setelah turun, kami terkejut. Air itu ternyata membawa lumpur yang sudah padat, bercampur kayu,” tuturnya.
Lumpur setinggi hingga 3 meter menutupi hampir seluruh bangunan dayah. Sungai yang berada tepat di belakang kompleks dayah pun dipenuhi kayu-kayu besar dan menjadi pusat terjangan banjir bandang.
Selama terjebak di atas atap, para guru hanya mengandalkan air hujan untuk bertahan hidup. Tidak ada persediaan makanan sama sekali.
“Kami minum air hujan sedikit demi sedikit. Kalau makanan memang tidak ada,” kata Tgk Mustaqim lirih.
Seluruh santri, sekitar 200 orang putra dan putri, telah dipulangkan sejak awal kejadian. Di lokasi, hanya tersisa beberapa orang guru serta sejumlah mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) Universitas Abulyatama yang ikut terjebak.
“Kira-kira ada 10 orang lebih di sini, bertahan dalam hujan,” tambahnya.
Hingga hari kelima pascabencana, tidak satu pun tim evakuasi atau SAR yang berhasil masuk ke lokasi dayah.
“Mungkin karena medannya berat, atau alasan lain, kami tidak tahu,” ujarnya.
Dengan sisa tenaga yang ada, para guru akhirnya memutuskan turun untuk mencari makanan pada hari kelima. Setelah kondisi fisik sedikit membaik, mereka justru kembali ke Gampong Blang Cut untuk membantu mengevakuasi warga lanjut usia dan orang sakit.
Evakuasi dilakukan pada Sabtu (28/12/2025) sekitar pukul 21.00 WIB menggunakan perahu menuju Gampong Beringin, lokasi tempat tim SAR telah bersiaga.
Kerusakan di Dayah Al-Munawarah tergolong sangat parah. Selain bangunan pondok pengajian yang terdiri dari tiga kelas santri putri dan empat kelas santri putra, musala juga tertimbun lumpur setinggi sekitar 2,5 meter. Sebanyak 21 unit sepeda motor terkubur di dalam lumpur, bersama berbagai aset dayah, seperti tenda, sound system, dan perlengkapan belajar lainnya.
“Sungai persis di belakang dayah kami. Ini pusat airnya,” jelas Tgk Mustaqim.
Hingga hari ke-19 pascabanjir bandang dan longsor, pihak dayah mengaku belum menerima bantuan pembersihan dari Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya.
“Dari awal banjir sampai sekarang, kami belum melihat tindak lanjut dari pemerintah daerah. Untuk ke depan, kami juga belum tahu,” katanya.
Sementara itu, upaya pembersihan lokasi dayah sejauh ini hanya dilakukan secara swadaya oleh para guru dan santri yang mulai kembali sejak hari kelima pascabencana.
Di tengah lumpur yang mengeras dan bangunan yang nyaris tak berbentuk, Dayah Al-Munawarah masih menunggu uluran tangan agar aktivitas pendidikan dan pengajian dapat kembali berjalan seperti sebelum banjir bandang itu datang tanpa ampun.
